Empat
bulan sudah berlalu semenjak kepergian.
Empat
bulan mengenal telah teramat cukup untuk menumbuhkan rasa yang tak pernah
terbayang
Pun
empat bulan tak pernah cukup untuk benar-benar menghapus tentang seseorang
Pernah
aku begitu mengutuk diriku sendiri karena telah jatuh kepada seseorang itu.
Namun apa daya, ketika panah nirwujud itu telah dilesatkan, hati mana yang tak
akan jatuh ?
Malam ini aku kembali menangis. Melihat pergelangan
tangan kananku yang kini kosong, mengenang gelang hitam yang dulu pernah melingkar
di sana. Aku membeli gelang hitam itu di saat sedang bahagia-bahagianya.
Menjadi perempuan bebas dan mandiri di tanah perantauan. Melangkahkan kaki
sesuka hati seiring berhembusnya angin.
---
Pada sebuah malam di kota yang dingin, langit begitu
gelap nan cantik. Kupejamkan mata dan rasakan bingar alun-alun di telingaku,
merasakan belai angin dingin di telapak tanganku. Lalu kubuka mata, dan
semenjak itu aku berkesimpulan bahwa harus ada perayaan untuk setiap hal kecil yang
diberikan semesta. Bahkan bingar ini, dingin ini, dan gelapnya malam ini memberikan
damai yang khusus di benakku. Maka daripada itu, sudah sepantasnya tak ada
tempat bagi kesedihan dan rasa khawatir akan kehidupan, karena sesungguhnya semesta
tak akan pernah berhenti menghadirkan yang terbaik. Sudah saatnya kesedihan
dicukupkan dan langkah kaki di lebarkan, serta bibir yang senantiasa tak lupa merapalkan
syukur yang tulus kepada Tuhan pencipta semesta.
Kulihat gelang hitam itu di jajaran dagangan penjual
aksesoris. Macam ragam warna aksesoris di sajikan, namun justru aku tertarik
pada satu yang berwarna hitam. Hitam. Gelap. Seperti langit malam itu. Begitu
pekat namun entah bagaimana mampu menghadirkan damai yang sangat. Gelap tak buruk juga ya rasanya,
pikirku. Bukankah di langit yang gelap
bintang-bintang akan terlihat lebih jelas bersinar ? Mari rayakan cantiknya
langit malam ini. Kuabadikan gelapnya langit malam itu pada gelang hitam
yang bertengger tanpa peminat di meja itu. Seketika gelang hitam itu sudah
berada di pergelangan tanganku.
Jangan lihat hitamnya, jangan lihat gelapnya.
Lihatlah apa yang bersinar di dalam gelap itu.
Hal itulah yang senantiasa merebak tiap kali kulihat
gelang hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. Ketika dilanda situasi
yang buruk, kutatap lagi gelang itu, ada damai yang menjalar dingin seindah
langit malam kala itu. Aku suka gelang itu. Meski terlalu besar untuk
pergelangan tanganku yang mungil, tapi tetap terasa pas dan begitu nyaman
melingkar di tanganku. Aku tak pernah merasa sendiri. Karena aku tau gelang hitam
itu menggengam tanganku, Selalu ada, Tak terbatas ruang dan waktu. Aku merasa
utuh.
---
Hingga sampai pada suatu saat aku mengenal seseorang
itu. Ia rekan kerjaku. Begitu lugas ia menghadapi hidup. Di tengah dunia yang
berjalan dengan tempo semakin cepat nan penuh tekanan, ia selalu bisa tetap
kalem dan tak terpengaruh dengan keterburu-buruan itu. Yang paling kuingat
ialah kata-katanya ‘untuk apa cepat-cepat, toh di ujung sana tiada yang
menanti. Pun di sini tak ada yang memburumu untuk pergi. Nikmati!’
Tawa tak lupa senantiasa ia sematkan di tengah
pekerjaan yang sedang banyak-banyaknya. Hingga aku sadar bahwa selama ini aku
lupa tertawa. Hidup yang tak mulus, impian yang terasa sulit dijadikan nyata,
serta tuntutan-tuntutan di kehidupan modern ini membuatku lupa tertawa. Tawa. Kapan terakhir kali aku tertawa
seperti ini ? Ini hal akrab yang kini menjadi asing bagiku. Dan kini aku
meraskannya kembali, olehmu. Kutemukan bahwa tawa ialah serupa pressure release valve, yakni katup
pengurang tekanan pada bejana bertekanan yang fungsinya ialah sebagai pengaman
agar bejana itu tak kelebihan tekanan, karna tekanan yang berlebih itu mampu
membuatnya meledak. Seperti diriku dengan tekanan yang berlebih, membutuhkan pressure release valve-nya. Aku
membutuhkan seseorang itu.
Hari demi hari berlalu. Tak ada hari yang kulewatkan
tanpa melihat seseorang itu, kecuali hari minggu tentunya. Di kota dingin itu,
aku menemukan seseorang itu dan menemukan kembali tawaku. Maka nikmat Tuhan
manalagi yang dapat aku dustakan ? Ya, tidak ada. Semua terasa begitu lengkap.
Lalu yang terjadi setelah itu, ialah rindu. Temu-temu itu mencumbu waktu dan melahirkan
anak-anak rindu yang berisik di benakku. Lalu biar kutuliskan kembali : ‘ketika panah nirwujud itu telah dilesatkan,
hati mana yang tak akan jatuh ?’
Entah kesialan atau anugerah. Aku jatuh kepada
seseorang itu. Canda nya seperti candu yang tak pernah bisa berhenti kuseduh.
Aku menyayangimu. Kalimat itu mulai berputar di hati dan kepalaku semenjak
fajar merekah hingga sebelum mataku terlelap. Seseorang itu mengisi mimpi-mimpi
malamku. Sial. Aku tak ingin ini. Karna
aku tahu, setelah ini, yang akan terjadi selanjutnya hanyalah ego untuk
memilikimu lengkap dengan sepaket ketakutan-ketakutan akan kehilanganmu. Padahal
aku percaya pada kalimat penyair itu, ‘pada
dasarnya, kita tak pernah
sungguh-sungguh memiliki sesuatu, kita hanya memiliki kehilangan’. Namun,
ketakutan-ketakutan itu nyatanya sulit sekali terhindarkan.
---
Waktu berlalu, pekerjaan kian rampung yang berarti
waktuku di sini semakin menuju babak terakhirnya. Pekerjaan lancar, semua
berjalan sesuai rencana, hanya masalah-masalah kecil yang pada akhirnya mampu
untuk diselesaikan. Berbeda halnya urusanku dengan seseorang itu yang kian hari
kian tak rampung. Rindu dan rasa yang kian berisik. Tawa dan kebersamaan serta
bahagia yang tak siap ku tanggalkan. Aku dan seseorang itu sama-sama merasakan bahwa
kebersamaan ini tak akan berlangsung lebih lama lagi. Aroma perpisahan sudah
mulai merebak. Hingga di suatu sore kala itu, seseorang itu berkata :
‘Proyek
ini sudah selesai. Sebentar lagi kita sudah tidak akan bertemu. Hey,
omong-omong gelang itu apakah dari pacarmu ?’
‘Gelang
hitam ini maksudmu ? Hah, pacar apaan
? Apa itu pacar ?’, jawabku sembari bercanda.
‘Kemarikan saja, biar kupakai. Aku suka memakai
aksesoris seperti itu. Sebagai kenang-kenangan, setelah ini mungkin kita sudah
tidak akan bertemu. Maukah kau berikan untukku ?’
Aku terkesiap. Benar apa yang ia katakan.
Kebersamaan ini sebentar lagi akan berakhir. Berbagai hal muncul di pikiranku, gelang hitam ? Asosiasinya dengan langit
malam yang menjadi sumber damaiku. Ini teramat berharga, haruskah kuberikan
padanya ? Lalu tentang rasa ini, bagaimana caraku menyampaikan ? Tuhan, aku
masih ingin bersamanya’.
‘Tapi
gelang ini sulit dilepas,’ ungkapku.
Aku berpikir sejenak. ‘Gelang hitamku ini begitu berharga bagiku, tapi bukankah sudah sepantasnya
bila seseorang memberikan sesuatu yang berharga kepada sosok yang berarti di
kehidupannya ? Apalagi sosok yang telah mengembalikan tawanya. Dan satu hal
lagi, kalaupun kami berpisah, setidaknya ia akan membawa gelang hitam itu
bersamanya, membawa sebagian dari diriku. Bukan hal yang buruk, bukan ? Akan ada
bagian dariku yang turut bersamanya’. Ya, aku mengalahkan egoku dan memutuskan untuk memberikan gelang hitam itu
kepadanya.
‘Maukah
kau membantuku melepas gelang hitam ini ?’, kataku.
‘Sini’.
Kedua tangannya berada di atas pergelangan tanganku.
Jemarinya bergerak lincah melepaskan tautan gelang hitam itu. Sunyi. Tiada
suara. Mungkin masing-masing dari kami tengah tenggelam dalam pemikiran
masing-masing. Waktu berjalan lambat. Tanganku berada diantara kedua tangannya,
dan kurasakan hangat tangannya menjelma damai dan letup bahagia di benakku. Oh
Tuhan, tidak bisakah begini saja selamanya ? Tak usah ada perpisahan, ingin
rasanya kuhentikan waktu dan kujadikan momen ini abadi untuk selamanya. Aku ingin
tau apa yang ada di pikirannya. Dalam pikiranku, inilah momen terindah yang
akan selalu kukenang. Diamku karena ingin merekam keseluruhan momen ini,
suasana ini, kedamaian ini, kebersamaan ini : satu momen ketika kuberikan
sesuatu yang berharga untuk sosok yang berarti di hidupku. Sedamai ini
kurasakan ikhlas merebak di benakku. Melepas sesuatu yang berharga teruntuk
sosok yang berarti bagiku. Kembali kehidupan mengajarkanku tentang ikhlas.
Gelang
hitam itu terlepas.
Tanpa kata, kulihat ia memakainya di pergelangan
tangannya. Ya, gelang hitam berhargaku kini melingkar indah di pergelangan
tangannya. Ada bahagia yang diam-diam mengalir dalam diriku. Meski akan
berpisah, ada bagian dariku yang ikut bersamanya.
‘Aku
sayang gelang hitam itu, jaga baik-baik ya’, pintaku.
‘Pasti’,
jawabnya.
Kemudian aku berlalu menuju kamar mandi dan di sana
aku pun menangis. Entah apa alasanku menangis. Semua ini terasa begitu
mengharukan, ini dia ujung kebersamaan kami. Ini lah perpisahan kami. Waktu
terasa begitu singkat dan begitu banyak yang ingin kusampaikan namun tak
sempat.
---
Beberapa malam setelah kejadian itu, di hari
terakhir aku berada di kota dingin itu, kembali aku harus membuat keputusan.
Biarkan Ia tau segalanya sekarang, atau tidak sama sekali. Aku memilih pilihan
pertama. Kusampaikan pada seseorang itu melalui obrolan WhatsApp, bahwa aku menyayanginya tanpa peduli apapun kondisinya.
Aku sampaikan bahwa ada sedih yang merebak di ujung pertemuan ini. Kusampaikan pula
kata maaf dan terima kasih atas waktu yang telah dilalui bersama-sama. Aku
menyayanginya, dan akan senantiasa merindukannya. Dan begini balasan pesan
darinya :
‘Sama-sama.
Mungkin aku yang banyak salah sama kamu’
‘Siapa tahu kita ketemu lagi lain waktu’
‘Apaaaa ?’
‘Jodoh gak akan kemana kok (disertai emoticon
senyuman manis)’.
‘Iya kalem. Kamu juga jangan sungkan kalau mau chat
aku’
Hanya
itu.
Ia
melepas kepergianku.
Tak ada kata darinya untukku agar singgah sejenak,
untuk menghabiskan saat terakhir bersama-sama. Tidak ada. Tidak ada momen
terakhir romantis seperti yang di film-film romansa. Hanya seperti itu. Ia
dengan segala ke-kalem-annya, yang seperti biasa, merespon kerisauanku tentang
perpisahan ini. Aku tak pernah mengerti
arti dari jawabannya tersebut. Apakah Ia juga memiliki rasa yang sama, atau kah
tidak. Dan aku tidak mau bertanya. Cukuplah menjadi misteri, dan cukuplah
hal-hal indah sebelum itu menjadi sesuatu yang dapat kukenang tentang masa ini
di sebuah kota yang dingin.
---
Pergelangan tanganku kini kosong. Kan, benar kata penyair itu, ‘pada dasarnya, kita tak pernah sungguh-sungguh memiliki sesuatu, kita hanya memiliki
kehilangan’. Lagi-lagi kehidupan mengajarkan ikhlas dengan caranya yang tak
terlupakan. Sudah tidak ada lagi gelang hitam, sudah tidak ada lagi yang
menggenggamku. Tapi justru kekosongan ini membawaku kembali pada gelap. Langit
malam. Jangan lihat hitamnya, jangan
lihat gelapnya. Lihatlah apa yang bersinar di dalam gelap itu.
Jangan lihat nestapanya, lihat pelajarannya yang
dapat dipetik.
Takdir telah membuatku bertemu dengan seseorang yang
berarti, takdir pula yang membuatku harus berpisah dengan seseorang itu. Lalu atas
nama takdir pula, kini aku melepasnya dengan ikhlas. Selanjutnya, biar kuserahkan
lagi kepada takdir untuk membawanya kembali jika berkenan.
Kalaupun tidak, juga tak mengapa, karena aku yakin sesungguhnya
semesta tak akan pernah berhenti menghadirkan yang terbaik.
Dan kepada
seseorang itu, kusampaikan kepadamu dari damai benakku, selepas apapun yang terjadi,
aku menyayangimu…
(--the end--)
19-11-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar