Konspirasi Alam Semesta dalam Aksara
“Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk
membantumu meraihnya”. Begitulah sebuah kutipan yang membuat buku ini
banyak dikenal selama ini. Sebuah kalimat sederhana yang bahkan terdengar klise
di telinga ketika pertama kali membacanya. Aku tidak percaya. Bagaimana bisa di
kehidupan yang pahit kala itu, dimana keinginan tak pernah berbanding lurus dengan
kenyataan, bisa-bisanya ada sebuah kutipan yang membicarakan tentang keinginan
dan alam semesta yang bersatu untuk membantu meraihnya. Semesta yang manakah itu ? mana
semestaku yang seperti itu ? dimana mereka yang katanya bersatu untuk membantuku
?
Tak ada. Padahal
inginku hanya sederhana, meraih cita-cita dan membanggakan orang-orang yang
kusayangi. Namun rasanya orang-orang yang kusayangi itu tak peduli denganku dan
perjuanganku saat itu. Mereka sibuk sendiri dengan pertengkaran yang menjadikan
rumah kami begitu dingin. Aku ingin rumah itu kembali menjadi hangat, tanpa
serapah dan tanpa makian yang sudah sejak lama kuinginkan namun tak jua terjadi.
Dan aku, yang saat itu masih harus berjuang mati-matian untuk menyelesaikan
studi, tak tahu harus dengan cara apa lagi melanjutkan hidup. Habis semua
hal-hal baik dan optimisme cita-cita dalam diriku saat itu, tenggelam dalam
serapah dalam suatu tempat yang kusebut rumah, terlebih serapah itu terjadi diantara
mereka yang paling kusayangi di dunia ini. Aku tak ingin melanjutkan hidup, pun
tak ingin membunuh diri sendiri sebab aku percaya bahwa neraka itu ada. Aku hidup
namun tak lagi bernyawa.
“Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk
membantumu meraihnya”. Kutipan macam apa itu. Alam semesta yang mana yang
seperti itu ? Benakku tak pernah berhenti bertanya yang pada akhirnya hal ini
pula lah yang membuatku tergerak untuk membaca buku ini. Bicara soal omong kosong apa buku ini, pikir benakku kala mulai
membaca. Memang buku ini bukan karya yang baru, tapi aku baru mengetahui
tentang buku ini dan kutipan itu tiga tahun yang lalu, ketika benar-benar
sedang berada di titik nol kehidupanku, tepat tigapuluh tahun setelah buku itu
pertama kali diterbitkan.
Lembar demi lembar
kubaca. Lambat laun, semua mulai terbuka, makna tersingkap. Luruh prasangka.
“Kita takut kehilangan apa yang kita miliki, entah itu hidup kita
ataupun barang-barang dan tanah kita. Tapi ketakutan ini lenyap saat kita
memahami bahwa kisah hidup kita, dan sejarah dunia ini ditulis oleh Tangan yang
sama.
"Yang
masih perlu kau ketahui adalah: sebelum sebuah mimpi terwujud, Jiwa Buana
menguji semua yang telah dipelajari di sepanjang perjalanan. Ia melakukan hal
ini bukan karena ia jahat, tapi supaya kita mampu --sebagai tambahan untuk
mewujudkan mimpi-mimpi kita—menguasai pelajaran-pelajaran yang kita tekuni saat
kita bergerak menuju mimpi itu. Itulah titik saat kebanyakan orang menyerah.
Itulah titik saat, seperti yang kami
ucapkan dalam bahasa gurun, orang mati kehausan ketika pohon-pohon palem sudah
terlihat di cakrawala.
Menyerah. Apakah aku
ini sedang dalam prosesnya untuk menyerah ? Apakah iya aku sedang seperti itu ?
Dan apakah aku akan benar-benar menyerah atas mimpi dan cita-citaku ? Dan aku
sadar, hal ini bukan lagi tentang membuat bangga orang-orang yang kusayangi
itu. Persetan dengan mereka dan segala pertengkarannya. Ini adalah tentang
legenda pribadiku. Tepat seperti yang dicari-cari oleh Santiago, tokoh utama
dalam buku ini. Iya, kini aku sadar. Ini bukanlah tentang orang lain, tapi
tentang diriku sendiri dan kehidupanku selanjutnya. Jika aku menyerah sekarang,
tak akan memperbaiki keadaan rumahku yang sudah terlanjur dingin, dan pastinya
aku tak akan jadi apa-apa setelahnya. Hanya jadi pejuang yang kalah dalam
meraih cita-citanya sendiri dan menjadikan pertengkaran diantara mereka itu
sebagai alasan kegagalanku. Pengecut yang lemah bukan ? Aku harus bangkit
sekali lagi, berjuang lagi dan fokus pada cita-cita. Abaikan dahulu segala
tangis dan rasa sakit. Setidaknya, jika rumahku itu tak kunjung hangat, dengan
perjuangan ini kelak aku akan menjadi seseorang yang mampu membangun rumahnya
sendiri dan keluar dari lingkar yang menyakitkan itu. Kini perjuangan itu bukan
lagi untuk siapa-siapa, tapi untuk diriku sendiri, legenda pribadiku, seperti
yang disebut sang alkemis itu. "Legenda Pribadi adalah apa yang selalu
ingin kita tunaikan. Setiap orang, saat mereka belia, tahu apa Legenda Pribadi
mereka”. Dengan segenap sisa kekuatan, kuputuskan untuk tetap melangkah
meski hampir tak bisa.
“Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk
membantumu meraihnya”
Ya, semesta akan
bersatu untuk meraihnya dengan terlebih dahulu membuat kita pantas untuk
mendapatkannya, bahkan dengan banyak ujian sekalipun. Ia melakukan hal ini bukan karena ia jahat, tapi supaya kita mampu
--sebagai tambahan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita—menguasai pelajaran-pelajaran
yang kita tekuni saat kita bergerak menuju mimpi itu. Tepat seperti yang
tertulis dalam buku itu. Seperti yang dialami Santiago ketika harus melepas
orang yang disayanginya dalam perjuangannya meraih mimpinya :
"Itulah sebabnya aku ingin kamu terus
menuju cita-citamu. Bila kamu harus menunggu sampai perang selesai, tunggulah.
Tapi bila kamu harus pergi sebelumnya, teruskan pencarian mimpimu. Bukit-bukit
pasir berubah oleh angin, tapi gurun tak pernah berubah. Begitulah yang akan
terjadi dengan cinta kita.
"Maktub,"
kata gadis itu. "Bila aku sungguh-sungguh bagian dari mimpimu, kamu akan
kembali suatu hari."
Maktub. Semua sudah
dituliskan. Tinggal bagaimana kita tetap berjuang dan tak menyerah pada segala
rintangan. Tinggalkan, jika memberatkan langkah menuju cita-cita. Jika memang
semua itu bagian dari mimpi kita, kelak semua itu akan kembali dan baik-baik
saja. Sang Alkemis. Benar-benar membantuku di titik terendah kehidupanku. Aku
bersyukur menemukan buku ini di masa-masa kelam saat itu. Buku ini memberikan
jalan dan seolah penerang, sebuah tanda semesta dan pertolongan Tuhan.
“Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk
membantumu meraihnya”
Pada akhirnya, kusadari
makna kutipan itu, bahwa buku inilah semesta yang bersatu itu. Buku inilah
bentuk konspirasi semesta yang sempat kupertanyakan dulu. Buku ini adalah
manifestasi semesta yang bersatu untuk membantuku meraih mimpi, seperti kata
Sang Alkemis pada Santiago. Dan kini, tiga tahu telah berlalu. Aku berhasil
meraih cita-citaku, dan kau tahu, rumah yang dulu dingin, kini sudah hangat
kembali. Aku bersyukur tak menyerah di saat itu. Terima kasih Sang Alkemis,
terima kasih, Paulo Coelho, yang telah memberikan titik terang bagiku untuk tidak
mati, namun beradaptasi. “Timah akan memainkan
perannya sampai dunia tak memerlukan timah lagi, dan kemudian timah akan harus
berubah menjadi emas”. Paulo Coelho. Semoga Tuhan melimpahkan berjuta rahmat kebaikan
atas tanganmu, yang telah menuliskan karya untuk memapah orang-orang sepertiku,
hingga tetap mampu berjalan di jalan sunyi kehidupan yang berbatu. Kini aku
percaya, “Saat kau menginginkan sesuatu,
segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya”.
IF
YOU WANT SOMETHING, ALL THE UNIVERSE CONSPIRES IN HELPING YOU TO ACHIEVE IT. - paulo
coelho 1988, the Alchemist.