Minggu, 27 Februari 2022

Si Penjual Kegembiraan Palsu



Beruntunglah bagi mereka-mereka yang tak menyerah pada kehidupan. Tetap berjalan diantara bingarnya yang menggerus semangat dan kekuatan jiwa serta raga. Kenyataan yang memupuskan senyuman, ketidakberuntungan yang memudarkan tawa, menggerus usia lebih dari yang seharusnya. Kerut di wajah, uban di rambut. Tua datang lebih cepat oleh sebab raga yang tak mampu membohongi kelelahannya setelah sekuat tenaga diajak tetap berjalan menerjang arus kehidupan yang makin bingar dan sulit. 

Di malam yang penuh suka cita menyambut hari libur, di saat para sejoli saling berbagi tawa dan cinta, Ia tak pernah mengenal hari libur. Mungkin baginya hari libur adalah sama dengan tak makan. Tak seberapa bila hanya satu mulut yang tak makan, bagaimana bila ternyata ada beberapa mulut yang bergantung pada “hari libur”-nya ?

Tapi ia tabah. Masih terus berjalan. Ada yang menjajakan dagangan berupa roti yang dibuat dengan tangannya sendiri dan dipasarkan di atas sepeda ontel yang dikayuh di bawah langit malam, diantara gelak tawa manusia yang lebih beruntung darinya, manusia yang dianugerahi kesempatan untuk menikmati hari libur dan tawa sebagai pengisinya. Di sudut yang lain, aku melihat ia yang lain. Ia yang rela mengenakan kostum boneka tebal dan berperang dengan cuaca panas yang mendekap.

Tapi ia tabah. Menari diiringi musik riang dari radio butut yang selalu ia bawa untuk mencari nafkah. Menjual kegembiraan yang entah darimana ia palsukan. Di luar segala perjuangannya, diantara deras peluh di tubuhnya, ia tetap menari. Menghadirkan kegembiraan yang diharapkan mampu menghibur siapapun yang melihatnya hingga pada akhirnya para pemirsa itu mau memberikan beberapa koin atau jika beruntung beberapa lembaran uang di kalengnya.

Tapi yang kulihat adalah hal yang berbeda. Di mataku, sebenanrnya bukan orang-orang itu yang butuh dihibur. Tapi dirinya sendirilah yang perlu dihibur dari lara dan lelah yang telah dibebankan oleh kehidupan. Betapa hal itu adalah pekerjaan yang paling sulit. Di keadaan yang mengharuskan untuk tetap riang menari walau sebenarnya untuk tersenyum pun diri sudah tak mampu lagi. Seringkali kulihat kala ia melepas topeng boneka itu, peluh membasahi wajah. Kelegaan terpancar manakala topeng itu sudah dilepas. Ia mampu menghirup lagi udara segar, ya yang tak benar-benar segar sebenarnya karna telah tercampur asap kendaraan. Namun baginya itu adalah udara segarnya.

Sejenak berhenti menari, duduk melabuhkan lelah di tempat yang beralaskan tanah. Tanah yang daripadanya ia diciptakan. Barangkali ia berpikir kenapa ia dilahirkan, kenapa Tuhan mengharuskannya meninggalkan alam ruh dan mengembara bersama raga di tengah dunia yang serba sulit ini. Belum lagi tentang menahan dirinya dari godaan untuk melakukan hal-hal yang tidak baik demi mengisi perutnya. Menahan dirinya agar  tak mencuri. Menahan dirinya agar tak melakukan hal yang jahat. Lebih hebatnya ialah Ia menahan dirinya agar tidak mengutuk takdir. Dengan kata lain Ia menahan dirinya agar tidak mendustakan rahmat Tuhan yang ia percaya lebih luas dari apapun.

Setan berbisik, “di manakah rahmat Tuhan yang kau percaya sedangakan perutmu dibiarkan kosong oleh-Nya ?”.  Sebagai manusia biasa Ia sempat ragu, ia sempat gentar. Namun berkali-kali Tuhan dengan rahmat-Nya yang luas hadir dan memberi petunjuk padanya. Ia selalu teringat, bahkan Maryam pun, yang tengah lemah sehabis melahirkan Nabi Isa, yang atas Takdir Tuhan telah dikandungkan di rahimnya yang suci, tetap diharuskan menggoyang batang pohon kurma sebelum ia mendapatkan kurma untuk mengisi perutnya yang kosong.

Ia sadar, ia bukan maryam yang suci. Ia penuh dosa. Jika yang seperti Maryam saja masih diwajibkan untuk berjuang dan berusaha, apalagi dirinya. Dan bukankah seorang hamba yang mengaku beriman tidak dibiarkan begitu saja tanpa diberikan ujian untuk mebuktikan keimanannya ? Dan Tuhan sendiri telah berjanji bahwa Ia tak akan membebani hamba-Nya melebihi batas kemampuannya.

Hatinya mantap. Ia teguh. Setan pun jengkel dan pergi meninggalkannya. Ia tersenyum, melihat keatas langit dan bergumam, “terima kasih Tuhan atas rejekimu malam ini. Atas rahmat-Mu yang menjaga ku untuk tetap berada di jalan-Mu. Atas rahmat-Mu yang menjagaku untuk tetap mampu mencintai-Mu ditengah kekuranganku. Dan dengan rahmat-Mu, ku memohon kuatkanlah ragaku, sehatkanlah aku dan keluargaku, besarkanlah hatiku untuk menerima segala yang Engkau takdirkan maupun yang tidak”. Kulihat wajahnya begitu damai. Senyum penuh syukur. Diantara bingar ia telah memilih menepi. Dan dalam istirahatnya yang sejenak itu, ia menemukan Tuhan.

Seusai menenggak air mineral dari botol usang yang ia bawa bersama radio butut itu, ia kembali mengenakan topengnya. Siap untuk kembali bekerja. Jiwa nya telah penuh. Ia siap untuk menghibur mereka-mereka yang ia jumpai setelah ini. Aku salah.  Tak ada yang Ia palsukan. Bukan kegembiraan palsu yang ia jual, melainkan contoh keridhoan hati manusia akan takdir Tuhannya yang ia bagikan pada sesama manusia. Aku melihat semua itu dalam dirinya, dan aku menangis. Jika ada orang yang perlu ia “hibur”, satu-satunya orang itu adalah aku. Betapa diri ini si pemberontak asal-asalan yang tak tahu malu untuk mengutuk takdir dan menghujat Tuhan. Aku akan membayar mahal pada apa yang ia jual malam ini. Terima kasih, aku telah membeli sesuatu yang tak dapat kujumpai di toko manapun. Rahmat Tuhan kini ikut andil menyelamatkanku untuk kembali kepada-Nya.

Ia pun mengenakan topeng dan menyalakan lagu riang dari radio butunya itu. Musik gembira telah dikumandangkan dan ia menari bersamanya. Barangkali ia tidak hanya sekedar menari. Ia beserta keseluruhan jiwa dan raganya menari bersama nyanyian kehidupan, tak peduli lagi pahit atau manis yang diberikan dicangkirnya, toh akan sama saja. Maka ia akan terus menari bersamanya, hingga Tuhan berkata cukup.

Minggu, 30 Januari 2022

Veronika Memutuskan Mati

Paulo Coelho

#banyakbacaamerikalatin #bukugpu 

Bunuh diri. Pesimisme terhadap kehidupan. Kegilaan. Tema yang tak biasa untuk diangkat ke dalam sebuah karya sastra.



Berbicara tentang sastra amerika latin, ada satu nama  yang langsung terbayang dibenakku : Paulo Coelho. Adalah ia penulis asal brazil yang tulisannya selalu melampaui amerika latin dan menjadi best seller dunia, mari kita tengok satu karyanya, Veronka Decide Morir.

Namanya Veronika. Dan ia memutuskan untuk mati (suicide commit). Hidupnya normal. Ia punya pekerjaan yang layak, ia punya kekasih, ia punya orang tua yang menyayanginya dan selalu memberikan yang terbaik untuknya. Tapi ia memutuskan untuk mati.

Disini Paulo Coelho mengangkat tentang parameter kenormalan di masyarakat. Tentang apakah yang biasa dianggap normal ialah benar-benar normal ? Disampaikan dengan tindakan tokoh utama yang ‘normal’ di mata masyarakat, namun justru menjadi ‘gila’ karna memilih untuk mati. Pembaca akan diajak berpikir ulang tentang parameter normal di masyarakat serta tentang bagaimana bersikap untuk tetap menjadi diri sendiri meski di pandang berbeda di mata masyarakat.

Percobaan bunuh diri. Overdosis obat tidur. Veronika gagal mati. Disfungsi organ membuat hidupnya tinggal 5 hari lagi. Ia kesal. Ia ingin mati namun justru terdampar  di sebuah tempat dimana orang-orang ‘gila’ dikumpulkan. Pasien depresi, anxiety, skizofrenia serta pasien penyakit psikis lainnya menjadi kawan bagi Veronika saat itu.

5 hari bersama dengan orang-orang ‘gila’ itu justru membuat hati dan pikiran Veronika terbuka. Ia mendapati bahwa mereka tak sepenuhnya gila. Mereka adalah orang-orang berbeda, orang yang tak sanggup menghadapi gilanya ‘kenormalan’ masyarakat di luar sana dan lebih memilih menjadi dianggap ‘gila’ demi memperoleh kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri di tempat itu.

Dikisahkan, mereka yang dianggap ‘gila’ justru belajar tentang sufisme di tempat itu dari seorang guru sufi yang membuka hakikat makna kehidupan yang sebenarnya, bukan hanya sekedar rutinitas, gila bukan ? Lalu, kita yang dianggap normal, apakah benar-benar sudah normal ? Ataukah kita hanya orang gila yang tak mampu mengungkapkan kegilaannya ?

Inilah salah satu alasan mengapa saya begitu jatuh cinta terhadap karya-karya Paulo Coelho, tema yang diangkat ialah hal-hal tak biasa, dikemas dengan alur cerita yang apik plus ide-ide yang membuka pemikiran, menghadirkan pencerahan spiritual di tengah laju kehidupan yang makin bingar dan kering kerontang.

Veronika jatuh cinta lagi pada kehidupan. Namun semua sudah terjadi, ia sudah terlanjur memutuskan untuk mati. Sebuah alur yang menarik tentang akankah Veronika selamat dan hidup sekali lagi, ataukah justru ia akan mati tepat ketika ia baru saja menemukan makna hidup.

Selamat membaca, dan seperti Veronika, selamat jatuh cinta lagi pada kehidupan ! :)

Dan sekali lagi, kita yang dianggap normal, apakah benar-benar normal ? Ataukah kita hanya orang ‘gila’ yang tak mampu mengungkapkan kegilaannya ? Mari bertanya pada diri masing-masing. (NR)