Minggu, 19 Agustus 2018
Dialog Merekah
Waktu mengiringi kita
Mengubah benih menjadi tanaman sempurna
Yang sedari tunas kita bersama
Menertawai belalang yang salah tangkap mangsa
Kita pun meninggi bersama
Kuncup akhirnya merekah
Masih kita mentertawai belalang tua
Si pemetik pun tiba
'Sudah saatnya kau berpindah tanah
Mari hiasi berandaku saja'
Ucapnya
Sebentar lagi dia memetik satu diantara kita
Dan kita tidak bisa lagi mentertawai belalang tua
Dengan cara yang sama
Tertawa kita tak akan genap sama
Kita sudah bukan tunas lagi rupanya
Sudah saatnya jadi hiasan di beranda
Kini tinggal tunggu saja
Waktu kan membawakan apa
untuk kami yang tersisa
Si pemetik juga kah
Atau justru
senyap layu
Luruh.
-Dialog Merekah-
Turut berbahagia kawan.
#penaputih
(19-08-2018)
Kamis, 16 Agustus 2018
Edelweis
Edelweis
Perdu sederhana yang berbunga kecil
Namun tak ragu menjadi dirinya sendiri
Sesederhana Edelweis,
menerima keterbatasan dan berbunga bersamanya
Kepada takdir yang meletakkannya pada terjal
Ia tak pernah menggugat
Tumbuh dengan bersyukur, lalu mekar
Mengubah pasir dan terjal menjadi hamparan yang indah
Menjadi teduh bagi setiap pendaki yang lelah
Sederhana
Tanpa warna, tanpa kilau mahkota
Namun begitu memberi makna
Cukup sesederhana Edelweis.
-Filosofi Edelweis-
#penaputih
(16-08-2018)
Teater Pagi
Pagi dan harap-harap tak terkendali
Mendaki untuk menjadi saksi
Teater alam yang bertajuk 'Matari yang datang lagi'
Kaku dan hampir beku
Menggetarkan sukma yang membiru
Yang dingin di sini tanpamu
Matari punya banyak penggemar rupanya
Berjajar menantikan teater alam
Di tengah senandung dinihari yang nircahaya
Lalu matari mulai mengintip dari tirai awan
Dan sorak gempita diam-diam bergema di masing-masing hati penonton
Teater akan sebentar lagi dimulai
Dalam sunyi kuamati
Matari sudah datang lagi
Kini,
Sudah kubiarkan apa-apa yang sudah pergi dan tak mau di sini
'Yuk kita berfoto saja, matari'.
-Teater Pagi-
#Penaputih
photo by friend, Bromo 16/08/18
Kepada Langit
Langit,
Sanggupkah hati menjadi lapang
Selapang dirimu
Yang menerima dan menampung
bening embun maupun asap kelabu
Langit,
Sanggupkah hati menjadi putih
Seputih dirimu
Yang jernih
Tak tercemari kerak jelaga pengotor nurani
Langit,
Sanggupkah hati menjadi lembut
Selembut dirimu dan awan-awanmu
Yang tak membalas dengan badai
Saat cerobong itu menumpahkan asap kepadamu
Langit,
Sanggupkah hati menjadi tabah
Setabah dirimu
Yang rela berjarak dengan bumi tersayang
Demi ruang kehidupan diantaramu
Maka ajarilah kami wahai langit,
agar mempunyai hati yang sepertimu
Ajarilah wahai langit,
Sebelum kelak mata ini tak lagi melihatmu
Sebelum waktu membuyarkan nafas ini
Dan sebelum kami jatuh ke pelukan bumi
pelukan yang dalam dan teramat mesra
Akrab di dalam nafas keabadian.
-Kepada Langit-
#Penaputih
Photo by friend, Bromo 16/08/18
Matari Pagi Hari
Seperti matari yang tak pernah ingkar janji
Tak pernah lupa terbit meski tenggelam berkali-kali
Menyinari tanpa menuntut kembali
Matari baru saja terbit
Dan kau menyaksikan gelap yang mulai terusik
Lalu apa-apa yang kaku menuju beku,
Kini tersinari dan seutuhnya luluh
Akankah juga dengan kristal-kristal hati manusia yang membeku ?
Yang tak jua menjadi baik meski berkali-kali mendengar tentang perbuatan baik
Mari kita pungut saja kebaikan kecil yang dibawakan matari mungil diujung malam tadi
Tentang janji, terbit, dan tak menuntut kembali.
Entah apa lagi yang dibawakan matari esok hari
'Oh matari pagi, bersamaan dengan luluhnya kristal embun di ilalang kedinginan itu,
luluhkan pula kristal-kristal di hati ini.
Karna aku serupa ilalang kedinginan itu
yang hampir beku
mencari-Mu
di ujung malamku'.
-Matari Pagi Hari-
#Penaputih
photo by friend, bromo 16/08/18
Langganan:
Postingan (Atom)