Sabtu, 07 Desember 2019

Bercanda Bersama Tuhan di Kala Senja





I.
Senja dan aroma sore hari yang memudar
Terdudukku sendiri di tepian jendela
Berteman angin dan merdu senandung sunyi

Aku serasa terbang
Memeluk awan dan mengecup matari
Berdamai dengan semua fana
Mencoba tersenyum dengan candaan Tuhan
Yang ada di depan mata

Harapku yang seperti dimain-mainkan-Nya
Direnggut-Nya apa-apa yang bahkan hampir tergenggam

Entah mengapa selalu terasa sesak
Ketika Tuhan bercanda seperti itu
Layaknya aku yang menggoda adikku
Mengambil mainannya dan mentertawai tangisnya
Sebercanda itulah Tuhan terhadapku

II.
Sesak
Aku tau Engkau bercanda, Tuhan
Tapi aku tetap sesak
Humorku tak cukup mampu menampung canda-Mu
Ataukah aku yang terlalu serius menghadapi hidup ?

Hatiku tak lapang
Jiwaku tak besar
Dan canda-Mu itu menyesakkan
Kepada senja aku pun menangis

Lalu dalam temaram kumendengar :
Aku memang sedang bercanda
Tapi canda-Ku ialah untuk memperluas hatimu
Membesarkan jiwamu yang kerdil
Kau memang kecil, Aku Yang Maha Besar
Kau hamba, dan Aku Tuhanmu yang Maha Mencintaimu
Tabahlah
Mari kita bertemu sepertiga malam nanti

Percayalah canda-Ku tak akan pernah mematahkanmu”.

---

Teruntuk siapa saja yang tengah berjuang, tabahlah. Mari saling menguatkan dalam kesabaran :)

Jumat, 06 Desember 2019

Tiga Puisi


Gerimis Pertama Desember

Seperti gulungan asap 
yang lenyap di ujung gerimis pertama Desember.
Prasangka itu harus hilang
Beserta segala keragu-raguan.

'Kuasa Tuhan itu utuh
Tapi tak bisa bekerja pada ia yang meragu', ucapmu mengingatkanku.

'Dan seperti pucuk daun di halaman rumahmu itu,
yang tak marah pada angin bulan Desember 
yang membuatnya harus berpisah dengan ranting',

'Angin Desember rupanya telah tiba. 
Yang perlu kau lakukan ialah rapatkan  jaket 
dan tetap percaya pada takdir baik Tuhan'

ungkapmu mengalahkan bising deru angin 
dan mendamaikan deru jiwa yang semakin.
-----.





Ketidakpastian

Aroma tanah basah semerbak 
dalam hujan tengah hari yang datang tanpa diiringi mendung.
Semesta memberi kejutan parfum yang amat memanjakan hidung.
Ingin kumasukkan ke dalam botol dan kujadikan pengharum untuk digantung.
Agar kapanpun senantiasa teringat pada hujan dan juga kepadamu.

'Siang ini hujan turun tanpa mendung terlebih dahulu', ujarmu

'Mengapa bisa ?', tanyaku

'Semesta selalu punya caranya sendiri untuk memberi kejutan.
Mendung belum pasti hujan,
Pun tak berawan tak berarti hujan tak akan datang'.

Tidak pasti. Tapi bukankah satu-satunya yang pasti ialah ketidakpastian itu sendiri ?
Itu yang membuat hidup istimewa', ucapmu.

Lalu kita bersama-sama hening menatap langit cerah yang hujan dengan jiwa yang perlahan  menjadi hangat dan sejuk, dihujani gerimis dan cahaya.
---.



Nyanyian Burung

Cuit cuit
Burung itu bernyanyi di ujung atas tiang listrik
Bermain-main ia di atas sana dengan gembira

'Meski punya sayap, apakah sedikit pun mereka tak takut terjatuh ?' tanyaku.

'Tidak. Pun jika mereka punya rasa takut, mereka akan melihat sayapnya lagi dan seluruh anggota tubuhnya. Lalu mereka akan teringat: aku yang seperti ini, ialah tanda dari Tuhan bahwa aku mampu terbang. Mereka sadar. Mereka yakin. Dan tak pernah khawatir pada takdir Tuhan', ungkapmu sembari tersenyum ke arah langit.

Kulihat mereka terbang
Meninggalkan jiwaku yang turut bernyanyi bersama nyanyiannya
Lalu kau dan aku bernyanyi dalam sunyi, merayakan damai semesta.
---.


Kamis, 05 Desember 2019

Dirimu Adalah..


Dirimu adalah teka-teki yang tak mampu kuselesaikan
Dirimu adalah puisi yang selalu gagal kutafsirkan
Dirimu adalah tanda tanya yang tak berhasil kuabaikan

Rinduku, pernah seutuhnya milikmu
Pintaku, pernah cukup sesederhana melihat mata indahmu
Menjabat jemarimu, dan mendengar suaramu untuk yang terakhir kali

Tapi, pernahkah kau kabulkan permintaan sederhanaku itu ?

Tapi tetap saja
Kau menjadi teka-teki yang semakin.
Kau menjelma puisi yang menjadi.

Dan aku tak mampu,
tak pernah mampu
menyelesaikan teka-teki itu
menafsirkan puisi itu.

Dan lihatlah tanda tanya itu,
yang saat ini satu per satu telah kehilangan jawabannya.

Dan aku kehilanganmu.


Kamis, 21 November 2019

Dari Plato Hingga Aritoteles, Yang Mana Jalan Ninja untuk Cita-Citamu ?





Setia dengan impian awal, atau  merevisi mimpi karena keadaan ? 

Setiap orang rasanya memiliki idealismenya masing-masing, khususnya tekait dengan cita-cita. Misal, seseorang yang menyukai ilmu fisika memiliki cita-cita untuk menjadi seorang engineer. Segala usaha sudah dilakukan. Belajar giat di bangku kuliah demi memperoleh ilmu dan nilai yang sempurna. Namun, kehidupan selalu punya kejutan dan rasanya tidak ada jalan yang benar-benar lurus di dunia ini, kecuali jalan tol, karenanya ada agama yang mengajarkan pada pemeluknya agar senantiasa memohon kepada Tuhannya agar ditunjukkan jalan yang lurus. Kini saya benar-benar paham apa makna doa itu.

Baiklah kembali pada sosok yang diceritakan sebelumnya. Dia lulus tepat waktu dengan nilai yang baik. Gelar sarjana diperoleh, semangat penuh untuk melangkahkan kaki di dunia baru : dunia kerja. Setelah ia melamar kesana kemari, nyatanya ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan impiannya. Ia masih getol untuk mencoba dan berusaha lagi, lagi, dan sekali lagi. Bermodalkan uang terakhirnya ia tebarkan lamaran di tempat yang ia kehendaki. Namun apa daya, panggilan tak kunjung tiba, kabar baik tak kunjung hadir. Penantian kosong. Seperti menunggu mantan datang kembali, ups. 

Dalam kondisi yang galau se-galau-galaunya itu, orang-orang di sekitar banyak yang berkomentar, ‘ya sudahlaa, gak jadi engineer juga gapapa, yang penting bisa hidup’. Apakah memang harus demikian ? Apakah sesulit ini mewujudkan mimpi di jaman sekarang ? Bahkan seperti tak ada tempat untuk impian ? Haruskah menyerah dengan keadaan ? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan terus mengusik hati, jiwa dan pikiran.

Ini menyakitkan. Lebih sakit daripada falling in love with people we can’t have. Lebih ambyar dari Sewu Kuto-nya Kang Didi Kempot. Diberi harapan palsu oleh doi sudah sering. Ditolak apalagi. Tapi tahukah Anda rasaya di php oleh HRD ? ‘ Ditunggu ya, dua minggu lagi akan dikabari’, ucap mbak HRD dengan ramah dan tak  lupa senyuman manisnya. Tapi nyatanya dua minggu lebih berlalu tanpa kabar. Medot janji koe, mbak. Sakitnya tuh di sini teman, sambil elus dada. Belum lagi jika hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Nyesek,  jangan gantung harapan kami dong. Kalau kata mas Fathur, sang presbem UGM idola perempuan se-Indonesia Raya, ‘tunda itu bahasa politis, yang ada itu tolak atau terima’, setuju sekali saya dengan penyataan itu dan rasanya pernyataan itu relevan  untuk berbagai aspek di kehidupan ini. Dalam urusan mencari kerja ini misalnya. Setidaknya, jika tidak diterima, ijinkan kami tahu itu. Apalagi sih yang dibutuhkan manusia di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini kalau bukan sekeping kecil kepastian, walaupun itu pahit!

Ditengah penantian yang penuh dengan harapan palsu itu, mulai lah berkicau  suara-suara merdu dari orang sekitar untuk menurunkan standar mimpi, mengatakan bahwa mimpi kita terlalu sulit dikejar, dan lain sebagainya yang intinya adalah ‘sudahlah, lupakan mimpimu, ingat mulutmu butuh makan!’
Orang-orang menyuruh kita untuk berpikiran realistis. Bahwa dalam keadaan yang seperti ini impian dijadikan nomor sekian dulu, yang penting kebutuhan terpenuhi. Tentunya ini akan menjadi dilemma yang sangat bagi para pencari kerja yang mengalaminya. Haruskah mereka menghianati mimpi mereka sendiri, atau tetap bertahan dengan impian awal mereka ? Dalam hati kecil tentunya ada keyakinan bahwa impian itu bisa menjadi nyata namun butuh waktu yang ‘sedikit’ lebih lama dan daya juang yang ‘sedikit’ lebih besar. Namun sekali lagi, kenyataan yang ada melahirkan keragu-raguan yang tak terhindarkan.

Dari jaman dahulu hingga kini, konsep idealis dan realis selalu berbenturan dan menjadi kebimbangan tersendiri bagi umat manusia segala jaman. Jika kita menilik mundur, para filsuf Yunani sudah memikirkan tentang hal ini ribuan tahun yang lalu. Sebut saja, Plato, filsuf kondang yang merupakan tokoh dari filsafat idealisme. Plato mengakui bahwa dunia inderawi yang serba majemuk dan puspa ragam adalah juga suatu realitas, namun bukanlah suatu realitas yang sebenarnya. Dunia inderawi hanyalah tiruan sementara dari dunia ide. Cita-cita sendiri, menurut KBBI ialah merupakan keinginan yang selalu ada di dalam pikiran. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa cita-cita masuk di dalam ranah ide atau gagasan yang dipegang hasil dari olah pikir manusia. Sehingga apabila kita cenderung memilih untuk mempertahankan ide tentang cita-cita tersebut, maka bisa dikatakan bahwa kita adalah orang yang idealis dalam menggapai cita-cita.

Sebaliknya, realisme didasarkan pada prinsip bahwa ide-ide bisa ada tanpa masalah, tapi tidak bisa eksis tanpa bentuk. Ini adalah konsep pemikiran yang dikembangkan oleh Aristoteles. Pandangan Aristoteles lebih realis dari pada Plato karna didasarkan pada hal yang konkret. Ini merupakan akibat didikan pada waktu kecil, yang senantiasa menghadapkannya pada kenyataan. Dari kacamata realisme, menggapai cita-cita adalah lebih dari sekedar menggenggam ide dan impian, melainkan penyesuaian terhadap kondisi konkret yang ada di depan mata.  

Pilihannya ada di tangan kita. Mau mengikuti Plato dengan idealismenya, atau Aristoteles dengan realismenya. Mungkin bisa lebih baik jika kita bisa mengkolaborasikan keduanya dalam menggapai impian dan cita-cita. Kita buat suatu tujuan akhir yang kita pegang dengan sungguh-sungguh (di sini kita menjadi sosok idealis) dan jalan yang kita ambil untuk menuju tujuan akhir itu, bisa menyesuaikan keadaan (menjadi realistis). Mudahnya, saat menemui tembok, bukan tujuan akhirnya yang diubah, tapi jalan kita lah yang mestinya di ubah. Sedikit berbelok atau memutar, memang akan sedikit memakan waktu tetapi tetap menuju tujuan akhir tersebut, dengan meyakini sepenuh hati bahwa akan ‘banyak jalan menuju Roma’.         

Realita kadang begitu pahit dan berliku. Tapi janganlah pernah kita berhenti berusaha. Mau idealis atau realis, itu terserah, asalkan kita yakin dan tidak terpengaruh omongan dari orang-orang sekitar yang belum tentu benar dan belum tentu bertujuan baik. Di jaman sekarang ini banyak serigala berbulu domba, jadi alangkah baiknya jika kita waspada dan menyaring segala omongan dari orang lain.

Karena sesungguhnya cita-cita adalah dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Jangan biarkan orang lain mengintervensi cita-cita dan impian kita. Apalah arti kemerdekaan jika kita masih dijajah nyinyiran orang ? Tetap semangat wahai pejuang impian. Lakukan yang terbaik, dan jangan menyerah. Terakhir, ada satu kutipan favorit saya dari dari Paulo Coelho : ‘When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it’. Ketika kau menginginkan sesuatu, maka semesta akan bersatu untuk membantumu mendapatkannya. Bagaimanapun, impian dan cita-cita memilki harga yang harus dibayar. Idealis atau realis, punya harganya masing-masing. Tentukan cita-cita, pilih harganya, dan bayar mulai sekarang. Selamat berjuang!


Selasa, 19 November 2019

Gelang Hitam (CERPEN)




Empat bulan sudah berlalu semenjak kepergian.
Empat bulan mengenal telah teramat cukup untuk menumbuhkan rasa yang tak pernah terbayang
Pun empat bulan tak pernah cukup untuk benar-benar menghapus tentang seseorang
Pernah aku begitu mengutuk diriku sendiri karena telah jatuh kepada seseorang itu. Namun apa daya, ketika panah nirwujud itu telah dilesatkan, hati mana yang tak akan jatuh ?

Malam ini aku kembali menangis. Melihat pergelangan tangan kananku yang kini kosong, mengenang gelang hitam yang dulu pernah melingkar di sana. Aku membeli gelang hitam itu di saat sedang bahagia-bahagianya. Menjadi perempuan bebas dan mandiri di tanah perantauan. Melangkahkan kaki sesuka hati seiring berhembusnya angin.
---

Pada sebuah malam di kota yang dingin, langit begitu gelap nan cantik. Kupejamkan mata dan rasakan bingar alun-alun di telingaku, merasakan belai angin dingin di telapak tanganku. Lalu kubuka mata, dan semenjak itu aku berkesimpulan bahwa harus ada perayaan untuk setiap hal kecil yang diberikan semesta. Bahkan bingar ini, dingin ini, dan gelapnya malam ini memberikan damai yang khusus di benakku. Maka daripada itu, sudah sepantasnya tak ada tempat bagi kesedihan dan rasa khawatir akan kehidupan, karena sesungguhnya semesta tak akan pernah berhenti menghadirkan yang terbaik. Sudah saatnya kesedihan dicukupkan dan langkah kaki di lebarkan, serta bibir yang senantiasa tak lupa merapalkan syukur yang tulus kepada Tuhan pencipta semesta.

Kulihat gelang hitam itu di jajaran dagangan penjual aksesoris. Macam ragam warna aksesoris di sajikan, namun justru aku tertarik pada satu yang berwarna hitam. Hitam. Gelap. Seperti langit malam itu. Begitu pekat namun entah bagaimana mampu menghadirkan damai yang sangat. Gelap tak buruk juga ya rasanya, pikirku. Bukankah di langit yang gelap bintang-bintang akan terlihat lebih jelas bersinar ? Mari rayakan cantiknya langit malam ini. Kuabadikan gelapnya langit malam itu pada gelang hitam yang bertengger tanpa peminat di meja itu. Seketika gelang hitam itu sudah berada di pergelangan tanganku.

Jangan lihat hitamnya, jangan lihat gelapnya. Lihatlah apa yang bersinar di dalam gelap itu.

Hal itulah yang senantiasa merebak tiap kali kulihat gelang hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. Ketika dilanda situasi yang buruk, kutatap lagi gelang itu, ada damai yang menjalar dingin seindah langit malam kala itu. Aku suka gelang itu. Meski terlalu besar untuk pergelangan tanganku yang mungil, tapi tetap terasa pas dan begitu nyaman melingkar di tanganku. Aku tak pernah merasa sendiri. Karena aku tau gelang hitam itu menggengam tanganku, Selalu ada, Tak terbatas ruang dan waktu. Aku merasa utuh.

---
Hingga sampai pada suatu saat aku mengenal seseorang itu. Ia rekan kerjaku. Begitu lugas ia menghadapi hidup. Di tengah dunia yang berjalan dengan tempo semakin cepat nan penuh tekanan, ia selalu bisa tetap kalem dan tak terpengaruh dengan keterburu-buruan itu. Yang paling kuingat ialah kata-katanya ‘untuk apa cepat-cepat, toh di ujung sana tiada yang menanti. Pun di sini tak ada yang memburumu untuk pergi. Nikmati!’

Tawa tak lupa senantiasa ia sematkan di tengah pekerjaan yang sedang banyak-banyaknya. Hingga aku sadar bahwa selama ini aku lupa tertawa. Hidup yang tak mulus, impian yang terasa sulit dijadikan nyata, serta tuntutan-tuntutan di kehidupan modern ini membuatku lupa tertawa. Tawa. Kapan terakhir kali aku tertawa seperti ini ? Ini hal akrab yang kini menjadi asing bagiku. Dan kini aku meraskannya kembali, olehmu. Kutemukan bahwa tawa ialah serupa pressure release valve, yakni katup pengurang tekanan pada bejana bertekanan yang fungsinya ialah sebagai pengaman agar bejana itu tak kelebihan tekanan, karna tekanan yang berlebih itu mampu membuatnya meledak. Seperti diriku dengan tekanan yang berlebih, membutuhkan pressure release valve-nya. Aku membutuhkan seseorang itu.

Hari demi hari berlalu. Tak ada hari yang kulewatkan tanpa melihat seseorang itu, kecuali hari minggu tentunya. Di kota dingin itu, aku menemukan seseorang itu dan menemukan kembali tawaku. Maka nikmat Tuhan manalagi yang dapat aku dustakan ? Ya, tidak ada. Semua terasa begitu lengkap. Lalu yang terjadi setelah itu, ialah rindu. Temu-temu itu mencumbu waktu dan melahirkan anak-anak rindu yang berisik di benakku. Lalu biar kutuliskan kembali : ‘ketika panah nirwujud itu telah dilesatkan, hati mana yang tak akan jatuh ?’

Entah kesialan atau anugerah. Aku jatuh kepada seseorang itu. Canda nya seperti candu yang tak pernah bisa berhenti kuseduh. Aku menyayangimu. Kalimat itu mulai berputar di hati dan kepalaku semenjak fajar merekah hingga sebelum mataku terlelap. Seseorang itu mengisi mimpi-mimpi malamku. Sial. Aku tak ingin ini. Karna aku tahu, setelah ini, yang akan terjadi selanjutnya hanyalah ego untuk memilikimu lengkap dengan sepaket ketakutan-ketakutan akan kehilanganmu. Padahal aku percaya pada kalimat penyair itu, ‘pada dasarnya, kita tak pernah sungguh-sungguh memiliki sesuatu, kita hanya memiliki kehilangan’. Namun, ketakutan-ketakutan itu nyatanya sulit sekali terhindarkan.
---

Waktu berlalu, pekerjaan kian rampung yang berarti waktuku di sini semakin menuju babak terakhirnya. Pekerjaan lancar, semua berjalan sesuai rencana, hanya masalah-masalah kecil yang pada akhirnya mampu untuk diselesaikan. Berbeda halnya urusanku dengan seseorang itu yang kian hari kian tak rampung. Rindu dan rasa yang kian berisik. Tawa dan kebersamaan serta bahagia yang tak siap ku tanggalkan. Aku dan seseorang itu sama-sama merasakan bahwa kebersamaan ini tak akan berlangsung lebih lama lagi. Aroma perpisahan sudah mulai merebak. Hingga di suatu sore kala itu, seseorang itu berkata :

‘Proyek ini sudah selesai. Sebentar lagi kita sudah tidak akan bertemu. Hey, omong-omong gelang itu apakah dari pacarmu ?’
‘Gelang hitam ini maksudmu ? Hah, pacar apaan ? Apa itu pacar ?’, jawabku sembari bercanda.
‘Kemarikan saja, biar kupakai. Aku suka memakai aksesoris seperti itu. Sebagai kenang-kenangan, setelah ini mungkin kita sudah tidak akan bertemu. Maukah kau berikan untukku ?’

Aku terkesiap. Benar apa yang ia katakan. Kebersamaan ini sebentar lagi akan berakhir. Berbagai hal muncul di pikiranku, gelang hitam ? Asosiasinya dengan langit malam yang menjadi sumber damaiku. Ini teramat berharga, haruskah kuberikan padanya ? Lalu tentang rasa ini, bagaimana caraku menyampaikan ? Tuhan, aku masih ingin bersamanya’.

‘Tapi gelang ini sulit dilepas,’ ungkapku.

Aku berpikir sejenak. ‘Gelang hitamku ini begitu berharga bagiku, tapi bukankah sudah sepantasnya bila seseorang memberikan sesuatu yang berharga kepada sosok yang berarti di kehidupannya ? Apalagi sosok yang telah mengembalikan tawanya. Dan satu hal lagi, kalaupun kami berpisah, setidaknya ia akan membawa gelang hitam itu bersamanya, membawa sebagian dari diriku. Bukan hal yang buruk, bukan ? Akan ada bagian dariku yang turut bersamanya’. Ya, aku mengalahkan egoku dan  memutuskan untuk memberikan gelang hitam itu kepadanya.

‘Maukah kau membantuku melepas gelang hitam ini ?’, kataku.
‘Sini’.

Kedua tangannya berada di atas pergelangan tanganku. Jemarinya bergerak lincah melepaskan tautan gelang hitam itu. Sunyi. Tiada suara. Mungkin masing-masing dari kami tengah tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Waktu berjalan lambat. Tanganku berada diantara kedua tangannya, dan kurasakan hangat tangannya menjelma damai dan letup bahagia di benakku. Oh Tuhan, tidak bisakah begini saja selamanya ? Tak usah ada perpisahan, ingin rasanya kuhentikan waktu dan kujadikan momen ini abadi untuk selamanya. Aku ingin tau apa yang ada di pikirannya. Dalam pikiranku, inilah momen terindah yang akan selalu kukenang. Diamku karena ingin merekam keseluruhan momen ini, suasana ini, kedamaian ini, kebersamaan ini : satu momen ketika kuberikan sesuatu yang berharga untuk sosok yang berarti di hidupku. Sedamai ini kurasakan ikhlas merebak di benakku. Melepas sesuatu yang berharga teruntuk sosok yang berarti bagiku. Kembali kehidupan mengajarkanku tentang ikhlas.

Gelang hitam itu terlepas.

Tanpa kata, kulihat ia memakainya di pergelangan tangannya. Ya, gelang hitam berhargaku kini melingkar indah di pergelangan tangannya. Ada bahagia yang diam-diam mengalir dalam diriku. Meski akan berpisah, ada bagian dariku yang ikut bersamanya.

‘Aku sayang gelang hitam itu, jaga baik-baik ya’, pintaku.

‘Pasti’, jawabnya.

Kemudian aku berlalu menuju kamar mandi dan di sana aku pun menangis. Entah apa alasanku menangis. Semua ini terasa begitu mengharukan, ini dia ujung kebersamaan kami. Ini lah perpisahan kami. Waktu terasa begitu singkat dan begitu banyak yang ingin kusampaikan namun tak sempat.
---

Beberapa malam setelah kejadian itu, di hari terakhir aku berada di kota dingin itu, kembali aku harus membuat keputusan. Biarkan Ia tau segalanya sekarang, atau tidak sama sekali. Aku memilih pilihan pertama. Kusampaikan pada seseorang itu melalui obrolan WhatsApp, bahwa aku menyayanginya tanpa peduli apapun kondisinya. Aku sampaikan bahwa ada sedih yang merebak di ujung pertemuan ini. Kusampaikan pula kata maaf dan terima kasih atas waktu yang telah dilalui bersama-sama. Aku menyayanginya, dan akan senantiasa merindukannya. Dan begini balasan pesan darinya :

‘Sama-sama. Mungkin aku yang banyak salah sama kamu’
‘Siapa tahu kita ketemu lagi lain waktu’
‘Apaaaa ?’
‘Jodoh gak akan kemana kok (disertai emoticon senyuman manis)’.
‘Iya kalem. Kamu juga jangan sungkan kalau mau chat aku’

Hanya itu.  

Ia melepas kepergianku.

Tak ada kata darinya untukku agar singgah sejenak, untuk menghabiskan saat terakhir bersama-sama. Tidak ada. Tidak ada momen terakhir romantis seperti yang di film-film romansa. Hanya seperti itu. Ia dengan segala ke-kalem-annya, yang seperti biasa, merespon kerisauanku tentang perpisahan ini.  Aku tak pernah mengerti arti dari jawabannya tersebut. Apakah Ia juga memiliki rasa yang sama, atau kah tidak. Dan aku tidak mau bertanya. Cukuplah menjadi misteri, dan cukuplah hal-hal indah sebelum itu menjadi sesuatu yang dapat kukenang tentang masa ini di sebuah kota yang dingin.
---

Pergelangan tanganku kini kosong. Kan, benar kata penyair itu, ‘pada dasarnya, kita tak pernah sungguh-sungguh memiliki sesuatu, kita hanya memiliki kehilangan’. Lagi-lagi kehidupan mengajarkan ikhlas dengan caranya yang tak terlupakan. Sudah tidak ada lagi gelang hitam, sudah tidak ada lagi yang menggenggamku. Tapi justru kekosongan ini membawaku kembali pada gelap. Langit malam. Jangan lihat hitamnya, jangan lihat gelapnya. Lihatlah apa yang bersinar di dalam gelap itu.

Jangan lihat nestapanya, lihat pelajarannya yang dapat dipetik.

Takdir telah membuatku bertemu dengan seseorang yang berarti, takdir pula yang membuatku harus berpisah dengan seseorang itu. Lalu atas nama takdir pula, kini aku melepasnya dengan ikhlas. Selanjutnya, biar kuserahkan lagi kepada takdir untuk membawanya kembali jika berkenan.

Kalaupun tidak, juga tak mengapa, karena aku yakin sesungguhnya semesta tak akan pernah berhenti menghadirkan yang terbaik.

Dan kepada seseorang itu, kusampaikan kepadamu dari damai benakku, selepas apapun yang terjadi, aku menyayangimu…   

(--the end--)
19-11-19


Selasa, 22 Oktober 2019

Apa Kabar Kata-Kata




Apa kabar kata-kata ?
Lama sudah tak bermain aksara
Seperti lengkung tanda tanya di ujung kalimat itu
Yang terus terbuka
Menunggu untuk dijadikan pengisi di bait puisi

Aksara dan tanda baca
Lalu kita yang berhati-hati membaca tanda

Seperti koma di antara anak kalimat dan induk kalimat
Memisah untuk mencapai satu makna yang tunggal

Juga spasi
Ruang kosong antar kata
Yang dengan kekosongannya memberikan arti pada rangkai kata yang kita baca

Sebuah simbol
Untuk tidak khawatir pada kekosongan
Pun pada langkah yang seakan dihentikan oleh koma

Begitulah semesta kata bekerja pada semesta kita
Kekosongan dan jeda menjadi seperti tanda baca :
Spasi dan koma
Rambu bagi segala makna agar dapat terbaca oleh kita

Hingga kau berhasil menjadi kalimat majemuk lengkap dengan spasi dan koma
Untuk satu makna yang tunggal

Apa kabar kata-kata ?
Cukup sekian saja
Aku baik-baik saja
Dan diam-diam masih mengeja
tentang spasi dan koma
Juga tanda tanya, seperti ini misalnya :
Apa kabar kata-kata ?

'Apa Kabar Kata-Kata'
#penaputih

Jumat, 24 Mei 2019

Filamen Rasa


(Teruntuk "J")


Seperti filamen yang pasrah ketika dialiri listrik
Menjadikannya panas membara
Hingga mampu memendarkan cahaya lampu pijar di kedai kopi itu

Seperti itu pula,
filamen sanubariku ketika rasa ini mengalir

Di luar kendali, dan tanpa saklar
tak dapat kuhentikan

Dan dari pergulatan itu,
aku kalah pada pendar kata : ‘ Aku menyayangimu’

Akulah lampu pijar yang telah dikalahkan aliran listriknya
Aku lah sanubari yang telah diruntuhkan bentengnya

Lalu, dengan cara apa pendar rasa ini dapat sampai kepadamu ?
Akankah filamenmu berpendar untukku ?
Atau justru sudah berpendar untuk sanubari yang lain ?

Kau adalah ketidaksengajaan yang tak dapat kucegah
Ketidakpastian yang tak dapat kuelakkan
Dan kini aku telah sampai pada kekalahanku
Di malam ini, pada udara dingin di kedai kopi ini
Kubisikkan dengan lembut, bahwa aku menyayangimu.

Selasa, 19 Maret 2019

Warung Kecil di Depan Mall





Pagi dan mentari yang bersinar tak begitu cerah
Entah angin dingin darimana yang datang dengan marah
Langkah kaki membawa ke warung kecil bertirai merah

Duduk di sebuah bangku  kecil menghadap jalan besar
Di depan meja kecil bersama segelas kecil teh hangat yang terlalu panas
Ah kenapa semua terasa kecil di sini ?
Atau jalan dan mall itu yang terlalu besar ?

Aku tidak suka jalan besar ataupun mall besar
Untuk apa bangunan tinggi-besar yang membuat orang lain merasa kecil ?

Garis batas antara besar dan kecil semakin tampak rupanya
Dan orang semakin gemar menggambarkannya sekarang
Ah, mall besar itu dan bingar gemerlap di dalamnya
Warung kecil dan gema radio tuanya
Satu bumi, dua dunia

Ada jarak-jarak tak tampak
Yang menjauhkan umat manusia

Dan di warung kecil ini aku mendengarkan
Tidakkah mereka juga mendengar ?
Bisikan paling putih diantara derai angin
Serupa pesan Semesta kepada yang terkasih
“Cukup bangunan-bangunan itu saja yang meninggi,
Hatimu, jangan!”.


Minggu, 17 Maret 2019

Sebuah Hadiah Kecil di Hari Besarmu




Senyum merekah, bahagia membuncah
Senja di hari hujan yang gembira
Dan sampailah pada akhir cerita
Kaki melangkah, jarak berkuasa
Menyisakan jejak langkah

Dari berjuta manusia,
tak pernah kita tau pada orang asing mana akan berkawan karib
Maka tiap temu adalah seperti membuka buku
Membaca, memahami, lalu mengerti
Atau bahkan seperti mengerjakan ujian
Dan kehidupan punya cara tersendiri untuk menyelenggarakannya
‘Kerjakan dulu ujianmu,
kau dapatkan pelajaran setelahnya’

Adamu ialah pelajaran bagiku
Mungkin kau akan berlalu,
tapi pelajaran darimu, selamanya akan abadi bersamaku.

Seperti kata Sapardi :
‘Yang fana adalah waktu, kita abadi!’

(teruntuk yang tengah berbahagia :
Sebuah Hadiah Kecil di Hari Besarmu]
W119- 17-03-19

Kamis, 14 Maret 2019

Yang Terhalang



Hingga matanya tak lagi bisa menatap langit luas
Sebab terhalang oleh tumpukan bata yang ia susun dengan tangannya sendiri
Terpenjara diri diantara bangunan tinggi sepanjang langkah kaki
dan roda yang melaju terburu-buru entah mengejar apa
Semakin sibuk dan waktu semakin enggan diburu
Dunianya semakin hidup, hatinya semakin mati

Hingga matanya tak lagi bisa menatap langit luas
Sebab terhalang oleh tumpukan bata yang ia susun dengan tangannya sendiri

Dan perlahan, kepada Langit ia pun lupa
Doa-doanya kian hampa
Di tengah karunia-Nya yang tak pernah alpa

Hingga matanya tak lagi bisa menatap langit luas
Sebab terhalang oleh tumpukan bata yang ia susun dengan tangannya sendiri.

[Yang Terhalang]
#penaputih

Selasa, 08 Januari 2019

Ialah Namamu



Matahari masih bersinar di atas kepalaku
Pun degub ini masih sama gilanya ketika yang teringat ialah namamu
Meski samar rasa kepergianmu sesekali menyematkan pilu
Kita yang pergi dengan belum selesainya sesuatu
Rasa yang saling namun tak menyatu
Berserakan sepanjang anak-anak waktu yang sekali lagi kembali membawaku kepadamu
Ketika anginpun tak mampu menghempaskan sedikit dari rinduku yang merangkak kelu
Akan kusimpan sepenggal berkas senyummu sebagai artefak menakjubkan yang pernah kutemu
Kutemu meski tak menjadi milikku utuh

Ialah namamu, detak tak biasa di sela bingar hidupku
Irama irasional mengejutkan yang menguatkan detak rapuhku
Andai bisa merekayasa waktu
Kan ku buat setiap detik menjadi abadi bersamamu
Ialah namamu, yang kepadanya pertanyaan itu bertamu tanpa titik temu
'Akankah kita berani mengakui rindu ?'
Ialah pertanyaanku, yang tak kunjung mendapati jawaban atas namamu
Ialah aku, yang bersembunyi di balik keangkuhan pura-pura tak mencintaimu
Ialah kita, pergi dengan rindu  yang dikemas rapi, berselimut sunyi di di balik relung.

Rupanya, kita tak lebih dari sekedar pengecut di hadapan rindu.
Mungkin bukan kita, hanya aku.
--.
[Ialah Namamu]
#penaputih

08-01-2019