Minggu, 27 Februari 2022

Si Penjual Kegembiraan Palsu



Beruntunglah bagi mereka-mereka yang tak menyerah pada kehidupan. Tetap berjalan diantara bingarnya yang menggerus semangat dan kekuatan jiwa serta raga. Kenyataan yang memupuskan senyuman, ketidakberuntungan yang memudarkan tawa, menggerus usia lebih dari yang seharusnya. Kerut di wajah, uban di rambut. Tua datang lebih cepat oleh sebab raga yang tak mampu membohongi kelelahannya setelah sekuat tenaga diajak tetap berjalan menerjang arus kehidupan yang makin bingar dan sulit. 

Di malam yang penuh suka cita menyambut hari libur, di saat para sejoli saling berbagi tawa dan cinta, Ia tak pernah mengenal hari libur. Mungkin baginya hari libur adalah sama dengan tak makan. Tak seberapa bila hanya satu mulut yang tak makan, bagaimana bila ternyata ada beberapa mulut yang bergantung pada “hari libur”-nya ?

Tapi ia tabah. Masih terus berjalan. Ada yang menjajakan dagangan berupa roti yang dibuat dengan tangannya sendiri dan dipasarkan di atas sepeda ontel yang dikayuh di bawah langit malam, diantara gelak tawa manusia yang lebih beruntung darinya, manusia yang dianugerahi kesempatan untuk menikmati hari libur dan tawa sebagai pengisinya. Di sudut yang lain, aku melihat ia yang lain. Ia yang rela mengenakan kostum boneka tebal dan berperang dengan cuaca panas yang mendekap.

Tapi ia tabah. Menari diiringi musik riang dari radio butut yang selalu ia bawa untuk mencari nafkah. Menjual kegembiraan yang entah darimana ia palsukan. Di luar segala perjuangannya, diantara deras peluh di tubuhnya, ia tetap menari. Menghadirkan kegembiraan yang diharapkan mampu menghibur siapapun yang melihatnya hingga pada akhirnya para pemirsa itu mau memberikan beberapa koin atau jika beruntung beberapa lembaran uang di kalengnya.

Tapi yang kulihat adalah hal yang berbeda. Di mataku, sebenanrnya bukan orang-orang itu yang butuh dihibur. Tapi dirinya sendirilah yang perlu dihibur dari lara dan lelah yang telah dibebankan oleh kehidupan. Betapa hal itu adalah pekerjaan yang paling sulit. Di keadaan yang mengharuskan untuk tetap riang menari walau sebenarnya untuk tersenyum pun diri sudah tak mampu lagi. Seringkali kulihat kala ia melepas topeng boneka itu, peluh membasahi wajah. Kelegaan terpancar manakala topeng itu sudah dilepas. Ia mampu menghirup lagi udara segar, ya yang tak benar-benar segar sebenarnya karna telah tercampur asap kendaraan. Namun baginya itu adalah udara segarnya.

Sejenak berhenti menari, duduk melabuhkan lelah di tempat yang beralaskan tanah. Tanah yang daripadanya ia diciptakan. Barangkali ia berpikir kenapa ia dilahirkan, kenapa Tuhan mengharuskannya meninggalkan alam ruh dan mengembara bersama raga di tengah dunia yang serba sulit ini. Belum lagi tentang menahan dirinya dari godaan untuk melakukan hal-hal yang tidak baik demi mengisi perutnya. Menahan dirinya agar  tak mencuri. Menahan dirinya agar tak melakukan hal yang jahat. Lebih hebatnya ialah Ia menahan dirinya agar tidak mengutuk takdir. Dengan kata lain Ia menahan dirinya agar tidak mendustakan rahmat Tuhan yang ia percaya lebih luas dari apapun.

Setan berbisik, “di manakah rahmat Tuhan yang kau percaya sedangakan perutmu dibiarkan kosong oleh-Nya ?”.  Sebagai manusia biasa Ia sempat ragu, ia sempat gentar. Namun berkali-kali Tuhan dengan rahmat-Nya yang luas hadir dan memberi petunjuk padanya. Ia selalu teringat, bahkan Maryam pun, yang tengah lemah sehabis melahirkan Nabi Isa, yang atas Takdir Tuhan telah dikandungkan di rahimnya yang suci, tetap diharuskan menggoyang batang pohon kurma sebelum ia mendapatkan kurma untuk mengisi perutnya yang kosong.

Ia sadar, ia bukan maryam yang suci. Ia penuh dosa. Jika yang seperti Maryam saja masih diwajibkan untuk berjuang dan berusaha, apalagi dirinya. Dan bukankah seorang hamba yang mengaku beriman tidak dibiarkan begitu saja tanpa diberikan ujian untuk mebuktikan keimanannya ? Dan Tuhan sendiri telah berjanji bahwa Ia tak akan membebani hamba-Nya melebihi batas kemampuannya.

Hatinya mantap. Ia teguh. Setan pun jengkel dan pergi meninggalkannya. Ia tersenyum, melihat keatas langit dan bergumam, “terima kasih Tuhan atas rejekimu malam ini. Atas rahmat-Mu yang menjaga ku untuk tetap berada di jalan-Mu. Atas rahmat-Mu yang menjagaku untuk tetap mampu mencintai-Mu ditengah kekuranganku. Dan dengan rahmat-Mu, ku memohon kuatkanlah ragaku, sehatkanlah aku dan keluargaku, besarkanlah hatiku untuk menerima segala yang Engkau takdirkan maupun yang tidak”. Kulihat wajahnya begitu damai. Senyum penuh syukur. Diantara bingar ia telah memilih menepi. Dan dalam istirahatnya yang sejenak itu, ia menemukan Tuhan.

Seusai menenggak air mineral dari botol usang yang ia bawa bersama radio butut itu, ia kembali mengenakan topengnya. Siap untuk kembali bekerja. Jiwa nya telah penuh. Ia siap untuk menghibur mereka-mereka yang ia jumpai setelah ini. Aku salah.  Tak ada yang Ia palsukan. Bukan kegembiraan palsu yang ia jual, melainkan contoh keridhoan hati manusia akan takdir Tuhannya yang ia bagikan pada sesama manusia. Aku melihat semua itu dalam dirinya, dan aku menangis. Jika ada orang yang perlu ia “hibur”, satu-satunya orang itu adalah aku. Betapa diri ini si pemberontak asal-asalan yang tak tahu malu untuk mengutuk takdir dan menghujat Tuhan. Aku akan membayar mahal pada apa yang ia jual malam ini. Terima kasih, aku telah membeli sesuatu yang tak dapat kujumpai di toko manapun. Rahmat Tuhan kini ikut andil menyelamatkanku untuk kembali kepada-Nya.

Ia pun mengenakan topeng dan menyalakan lagu riang dari radio butunya itu. Musik gembira telah dikumandangkan dan ia menari bersamanya. Barangkali ia tidak hanya sekedar menari. Ia beserta keseluruhan jiwa dan raganya menari bersama nyanyian kehidupan, tak peduli lagi pahit atau manis yang diberikan dicangkirnya, toh akan sama saja. Maka ia akan terus menari bersamanya, hingga Tuhan berkata cukup.

Minggu, 30 Januari 2022

Veronika Memutuskan Mati

Paulo Coelho

#banyakbacaamerikalatin #bukugpu 

Bunuh diri. Pesimisme terhadap kehidupan. Kegilaan. Tema yang tak biasa untuk diangkat ke dalam sebuah karya sastra.



Berbicara tentang sastra amerika latin, ada satu nama  yang langsung terbayang dibenakku : Paulo Coelho. Adalah ia penulis asal brazil yang tulisannya selalu melampaui amerika latin dan menjadi best seller dunia, mari kita tengok satu karyanya, Veronka Decide Morir.

Namanya Veronika. Dan ia memutuskan untuk mati (suicide commit). Hidupnya normal. Ia punya pekerjaan yang layak, ia punya kekasih, ia punya orang tua yang menyayanginya dan selalu memberikan yang terbaik untuknya. Tapi ia memutuskan untuk mati.

Disini Paulo Coelho mengangkat tentang parameter kenormalan di masyarakat. Tentang apakah yang biasa dianggap normal ialah benar-benar normal ? Disampaikan dengan tindakan tokoh utama yang ‘normal’ di mata masyarakat, namun justru menjadi ‘gila’ karna memilih untuk mati. Pembaca akan diajak berpikir ulang tentang parameter normal di masyarakat serta tentang bagaimana bersikap untuk tetap menjadi diri sendiri meski di pandang berbeda di mata masyarakat.

Percobaan bunuh diri. Overdosis obat tidur. Veronika gagal mati. Disfungsi organ membuat hidupnya tinggal 5 hari lagi. Ia kesal. Ia ingin mati namun justru terdampar  di sebuah tempat dimana orang-orang ‘gila’ dikumpulkan. Pasien depresi, anxiety, skizofrenia serta pasien penyakit psikis lainnya menjadi kawan bagi Veronika saat itu.

5 hari bersama dengan orang-orang ‘gila’ itu justru membuat hati dan pikiran Veronika terbuka. Ia mendapati bahwa mereka tak sepenuhnya gila. Mereka adalah orang-orang berbeda, orang yang tak sanggup menghadapi gilanya ‘kenormalan’ masyarakat di luar sana dan lebih memilih menjadi dianggap ‘gila’ demi memperoleh kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri di tempat itu.

Dikisahkan, mereka yang dianggap ‘gila’ justru belajar tentang sufisme di tempat itu dari seorang guru sufi yang membuka hakikat makna kehidupan yang sebenarnya, bukan hanya sekedar rutinitas, gila bukan ? Lalu, kita yang dianggap normal, apakah benar-benar sudah normal ? Ataukah kita hanya orang gila yang tak mampu mengungkapkan kegilaannya ?

Inilah salah satu alasan mengapa saya begitu jatuh cinta terhadap karya-karya Paulo Coelho, tema yang diangkat ialah hal-hal tak biasa, dikemas dengan alur cerita yang apik plus ide-ide yang membuka pemikiran, menghadirkan pencerahan spiritual di tengah laju kehidupan yang makin bingar dan kering kerontang.

Veronika jatuh cinta lagi pada kehidupan. Namun semua sudah terjadi, ia sudah terlanjur memutuskan untuk mati. Sebuah alur yang menarik tentang akankah Veronika selamat dan hidup sekali lagi, ataukah justru ia akan mati tepat ketika ia baru saja menemukan makna hidup.

Selamat membaca, dan seperti Veronika, selamat jatuh cinta lagi pada kehidupan ! :)

Dan sekali lagi, kita yang dianggap normal, apakah benar-benar normal ? Ataukah kita hanya orang ‘gila’ yang tak mampu mengungkapkan kegilaannya ? Mari bertanya pada diri masing-masing. (NR)

 

 

Minggu, 02 Mei 2021

 

Konspirasi Alam Semesta dalam Aksara

Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya”. Begitulah sebuah kutipan yang membuat buku ini banyak dikenal selama ini. Sebuah kalimat sederhana yang bahkan terdengar klise di telinga ketika pertama kali membacanya. Aku tidak percaya. Bagaimana bisa di kehidupan yang pahit kala itu, dimana keinginan tak pernah berbanding lurus dengan kenyataan, bisa-bisanya ada sebuah kutipan yang membicarakan tentang keinginan dan alam semesta yang bersatu untuk membantu meraihnya. Semesta yang manakah itu ? mana semestaku yang seperti itu ? dimana mereka yang katanya bersatu untuk membantuku ?

Tak ada. Padahal inginku hanya sederhana, meraih cita-cita dan membanggakan orang-orang yang kusayangi. Namun rasanya orang-orang yang kusayangi itu tak peduli denganku dan perjuanganku saat itu. Mereka sibuk sendiri dengan pertengkaran yang menjadikan rumah kami begitu dingin. Aku ingin rumah itu kembali menjadi hangat, tanpa serapah dan tanpa makian yang sudah sejak lama kuinginkan namun tak jua terjadi. Dan aku, yang saat itu masih harus berjuang mati-matian untuk menyelesaikan studi, tak tahu harus dengan cara apa lagi melanjutkan hidup. Habis semua hal-hal baik dan optimisme cita-cita dalam diriku saat itu, tenggelam dalam serapah dalam suatu tempat yang kusebut rumah, terlebih serapah itu terjadi diantara mereka yang paling kusayangi di dunia ini. Aku tak ingin melanjutkan hidup, pun tak ingin membunuh diri sendiri sebab aku percaya bahwa neraka itu ada. Aku hidup namun tak lagi bernyawa.

Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya”. Kutipan macam apa itu. Alam semesta yang mana yang seperti itu ? Benakku tak pernah berhenti bertanya yang pada akhirnya hal ini pula lah yang membuatku tergerak untuk membaca buku ini. Bicara soal omong kosong apa buku ini, pikir benakku kala mulai membaca. Memang buku ini bukan karya yang baru, tapi aku baru mengetahui tentang buku ini dan kutipan itu tiga tahun yang lalu, ketika benar-benar sedang berada di titik nol kehidupanku, tepat tigapuluh tahun setelah buku itu pertama kali diterbitkan.

Lembar demi lembar kubaca. Lambat laun, semua mulai terbuka, makna tersingkap. Luruh prasangka.

Kita takut kehilangan apa yang kita miliki, entah itu hidup kita ataupun barang-barang dan tanah kita. Tapi ketakutan ini lenyap saat kita memahami bahwa kisah hidup kita, dan sejarah dunia ini ditulis oleh Tangan yang sama.

"Yang masih perlu kau ketahui adalah: sebelum sebuah mimpi terwujud, Jiwa Buana menguji semua yang telah dipelajari di sepanjang perjalanan. Ia melakukan hal ini bukan karena ia jahat, tapi supaya kita mampu --sebagai tambahan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita—menguasai pelajaran-pelajaran yang kita tekuni saat kita bergerak menuju mimpi itu. Itulah titik saat kebanyakan orang menyerah. Itulah titik  saat, seperti yang kami ucapkan dalam bahasa gurun, orang mati kehausan ketika pohon-pohon palem sudah terlihat di cakrawala.

Menyerah. Apakah aku ini sedang dalam prosesnya untuk menyerah ? Apakah iya aku sedang seperti itu ? Dan apakah aku akan benar-benar menyerah atas mimpi dan cita-citaku ? Dan aku sadar, hal ini bukan lagi tentang membuat bangga orang-orang yang kusayangi itu. Persetan dengan mereka dan segala pertengkarannya. Ini adalah tentang legenda pribadiku. Tepat seperti yang dicari-cari oleh Santiago, tokoh utama dalam buku ini. Iya, kini aku sadar. Ini bukanlah tentang orang lain, tapi tentang diriku sendiri dan kehidupanku selanjutnya. Jika aku menyerah sekarang, tak akan memperbaiki keadaan rumahku yang sudah terlanjur dingin, dan pastinya aku tak akan jadi apa-apa setelahnya. Hanya jadi pejuang yang kalah dalam meraih cita-citanya sendiri dan menjadikan pertengkaran diantara mereka itu sebagai alasan kegagalanku. Pengecut yang lemah bukan ? Aku harus bangkit sekali lagi, berjuang lagi dan fokus pada cita-cita. Abaikan dahulu segala tangis dan rasa sakit. Setidaknya, jika rumahku itu tak kunjung hangat, dengan perjuangan ini kelak aku akan menjadi seseorang yang mampu membangun rumahnya sendiri dan keluar dari lingkar yang menyakitkan itu. Kini perjuangan itu bukan lagi untuk siapa-siapa, tapi untuk diriku sendiri, legenda pribadiku, seperti yang disebut sang alkemis itu.  "Legenda Pribadi adalah apa yang selalu ingin kita tunaikan. Setiap orang, saat mereka belia, tahu apa Legenda Pribadi mereka”. Dengan segenap sisa kekuatan, kuputuskan untuk tetap melangkah meski hampir tak bisa.

Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya”

Ya, semesta akan bersatu untuk meraihnya dengan terlebih dahulu membuat kita pantas untuk mendapatkannya, bahkan dengan banyak ujian sekalipun. Ia melakukan hal ini bukan karena ia jahat, tapi supaya kita mampu --sebagai tambahan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita—menguasai pelajaran-pelajaran yang kita tekuni saat kita bergerak menuju mimpi itu. Tepat seperti yang tertulis dalam buku itu. Seperti yang dialami Santiago ketika harus melepas orang yang disayanginya dalam perjuangannya meraih mimpinya :

 "Itulah sebabnya aku ingin kamu terus menuju cita-citamu. Bila kamu harus menunggu sampai perang selesai, tunggulah. Tapi bila kamu harus pergi sebelumnya, teruskan pencarian mimpimu. Bukit-bukit pasir berubah oleh angin, tapi gurun tak pernah berubah. Begitulah yang akan terjadi dengan cinta kita.

"Maktub," kata gadis itu. "Bila aku sungguh-sungguh bagian dari mimpimu, kamu akan kembali suatu hari."

Maktub. Semua sudah dituliskan. Tinggal bagaimana kita tetap berjuang dan tak menyerah pada segala rintangan. Tinggalkan, jika memberatkan langkah menuju cita-cita. Jika memang semua itu bagian dari mimpi kita, kelak semua itu akan kembali dan baik-baik saja. Sang Alkemis. Benar-benar membantuku di titik terendah kehidupanku. Aku bersyukur menemukan buku ini di masa-masa kelam saat itu. Buku ini memberikan jalan dan seolah penerang, sebuah tanda semesta dan pertolongan Tuhan.

Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya”

Pada akhirnya, kusadari makna kutipan itu, bahwa buku inilah semesta yang bersatu itu. Buku inilah bentuk konspirasi semesta yang sempat kupertanyakan dulu. Buku ini adalah manifestasi semesta yang bersatu untuk membantuku meraih mimpi, seperti kata Sang Alkemis pada Santiago. Dan kini, tiga tahu telah berlalu. Aku berhasil meraih cita-citaku, dan kau tahu, rumah yang dulu dingin, kini sudah hangat kembali. Aku bersyukur tak menyerah di saat itu. Terima kasih Sang Alkemis, terima kasih, Paulo Coelho, yang telah memberikan titik terang bagiku untuk tidak mati, namun beradaptasi. “Timah akan memainkan perannya sampai dunia tak memerlukan timah lagi, dan kemudian timah akan harus berubah menjadi emas”. Paulo Coelho. Semoga Tuhan melimpahkan berjuta rahmat kebaikan atas tanganmu, yang telah menuliskan karya untuk memapah orang-orang sepertiku, hingga tetap mampu berjalan di jalan sunyi kehidupan yang berbatu. Kini aku percaya, “Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantumu meraihnya”.

IF YOU WANT SOMETHING, ALL THE UNIVERSE CONSPIRES IN HELPING YOU TO ACHIEVE IT. - paulo coelho 1988, the Alchemist.

 

#bukugpu
#BersamaBeradaptasi
#GramediaPustakaUtama
#GPU47


Sabtu, 07 Desember 2019

Bercanda Bersama Tuhan di Kala Senja





I.
Senja dan aroma sore hari yang memudar
Terdudukku sendiri di tepian jendela
Berteman angin dan merdu senandung sunyi

Aku serasa terbang
Memeluk awan dan mengecup matari
Berdamai dengan semua fana
Mencoba tersenyum dengan candaan Tuhan
Yang ada di depan mata

Harapku yang seperti dimain-mainkan-Nya
Direnggut-Nya apa-apa yang bahkan hampir tergenggam

Entah mengapa selalu terasa sesak
Ketika Tuhan bercanda seperti itu
Layaknya aku yang menggoda adikku
Mengambil mainannya dan mentertawai tangisnya
Sebercanda itulah Tuhan terhadapku

II.
Sesak
Aku tau Engkau bercanda, Tuhan
Tapi aku tetap sesak
Humorku tak cukup mampu menampung canda-Mu
Ataukah aku yang terlalu serius menghadapi hidup ?

Hatiku tak lapang
Jiwaku tak besar
Dan canda-Mu itu menyesakkan
Kepada senja aku pun menangis

Lalu dalam temaram kumendengar :
Aku memang sedang bercanda
Tapi canda-Ku ialah untuk memperluas hatimu
Membesarkan jiwamu yang kerdil
Kau memang kecil, Aku Yang Maha Besar
Kau hamba, dan Aku Tuhanmu yang Maha Mencintaimu
Tabahlah
Mari kita bertemu sepertiga malam nanti

Percayalah canda-Ku tak akan pernah mematahkanmu”.

---

Teruntuk siapa saja yang tengah berjuang, tabahlah. Mari saling menguatkan dalam kesabaran :)

Jumat, 06 Desember 2019

Tiga Puisi


Gerimis Pertama Desember

Seperti gulungan asap 
yang lenyap di ujung gerimis pertama Desember.
Prasangka itu harus hilang
Beserta segala keragu-raguan.

'Kuasa Tuhan itu utuh
Tapi tak bisa bekerja pada ia yang meragu', ucapmu mengingatkanku.

'Dan seperti pucuk daun di halaman rumahmu itu,
yang tak marah pada angin bulan Desember 
yang membuatnya harus berpisah dengan ranting',

'Angin Desember rupanya telah tiba. 
Yang perlu kau lakukan ialah rapatkan  jaket 
dan tetap percaya pada takdir baik Tuhan'

ungkapmu mengalahkan bising deru angin 
dan mendamaikan deru jiwa yang semakin.
-----.





Ketidakpastian

Aroma tanah basah semerbak 
dalam hujan tengah hari yang datang tanpa diiringi mendung.
Semesta memberi kejutan parfum yang amat memanjakan hidung.
Ingin kumasukkan ke dalam botol dan kujadikan pengharum untuk digantung.
Agar kapanpun senantiasa teringat pada hujan dan juga kepadamu.

'Siang ini hujan turun tanpa mendung terlebih dahulu', ujarmu

'Mengapa bisa ?', tanyaku

'Semesta selalu punya caranya sendiri untuk memberi kejutan.
Mendung belum pasti hujan,
Pun tak berawan tak berarti hujan tak akan datang'.

Tidak pasti. Tapi bukankah satu-satunya yang pasti ialah ketidakpastian itu sendiri ?
Itu yang membuat hidup istimewa', ucapmu.

Lalu kita bersama-sama hening menatap langit cerah yang hujan dengan jiwa yang perlahan  menjadi hangat dan sejuk, dihujani gerimis dan cahaya.
---.



Nyanyian Burung

Cuit cuit
Burung itu bernyanyi di ujung atas tiang listrik
Bermain-main ia di atas sana dengan gembira

'Meski punya sayap, apakah sedikit pun mereka tak takut terjatuh ?' tanyaku.

'Tidak. Pun jika mereka punya rasa takut, mereka akan melihat sayapnya lagi dan seluruh anggota tubuhnya. Lalu mereka akan teringat: aku yang seperti ini, ialah tanda dari Tuhan bahwa aku mampu terbang. Mereka sadar. Mereka yakin. Dan tak pernah khawatir pada takdir Tuhan', ungkapmu sembari tersenyum ke arah langit.

Kulihat mereka terbang
Meninggalkan jiwaku yang turut bernyanyi bersama nyanyiannya
Lalu kau dan aku bernyanyi dalam sunyi, merayakan damai semesta.
---.


Kamis, 05 Desember 2019

Dirimu Adalah..


Dirimu adalah teka-teki yang tak mampu kuselesaikan
Dirimu adalah puisi yang selalu gagal kutafsirkan
Dirimu adalah tanda tanya yang tak berhasil kuabaikan

Rinduku, pernah seutuhnya milikmu
Pintaku, pernah cukup sesederhana melihat mata indahmu
Menjabat jemarimu, dan mendengar suaramu untuk yang terakhir kali

Tapi, pernahkah kau kabulkan permintaan sederhanaku itu ?

Tapi tetap saja
Kau menjadi teka-teki yang semakin.
Kau menjelma puisi yang menjadi.

Dan aku tak mampu,
tak pernah mampu
menyelesaikan teka-teki itu
menafsirkan puisi itu.

Dan lihatlah tanda tanya itu,
yang saat ini satu per satu telah kehilangan jawabannya.

Dan aku kehilanganmu.


Kamis, 21 November 2019

Dari Plato Hingga Aritoteles, Yang Mana Jalan Ninja untuk Cita-Citamu ?





Setia dengan impian awal, atau  merevisi mimpi karena keadaan ? 

Setiap orang rasanya memiliki idealismenya masing-masing, khususnya tekait dengan cita-cita. Misal, seseorang yang menyukai ilmu fisika memiliki cita-cita untuk menjadi seorang engineer. Segala usaha sudah dilakukan. Belajar giat di bangku kuliah demi memperoleh ilmu dan nilai yang sempurna. Namun, kehidupan selalu punya kejutan dan rasanya tidak ada jalan yang benar-benar lurus di dunia ini, kecuali jalan tol, karenanya ada agama yang mengajarkan pada pemeluknya agar senantiasa memohon kepada Tuhannya agar ditunjukkan jalan yang lurus. Kini saya benar-benar paham apa makna doa itu.

Baiklah kembali pada sosok yang diceritakan sebelumnya. Dia lulus tepat waktu dengan nilai yang baik. Gelar sarjana diperoleh, semangat penuh untuk melangkahkan kaki di dunia baru : dunia kerja. Setelah ia melamar kesana kemari, nyatanya ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan impiannya. Ia masih getol untuk mencoba dan berusaha lagi, lagi, dan sekali lagi. Bermodalkan uang terakhirnya ia tebarkan lamaran di tempat yang ia kehendaki. Namun apa daya, panggilan tak kunjung tiba, kabar baik tak kunjung hadir. Penantian kosong. Seperti menunggu mantan datang kembali, ups. 

Dalam kondisi yang galau se-galau-galaunya itu, orang-orang di sekitar banyak yang berkomentar, ‘ya sudahlaa, gak jadi engineer juga gapapa, yang penting bisa hidup’. Apakah memang harus demikian ? Apakah sesulit ini mewujudkan mimpi di jaman sekarang ? Bahkan seperti tak ada tempat untuk impian ? Haruskah menyerah dengan keadaan ? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan terus mengusik hati, jiwa dan pikiran.

Ini menyakitkan. Lebih sakit daripada falling in love with people we can’t have. Lebih ambyar dari Sewu Kuto-nya Kang Didi Kempot. Diberi harapan palsu oleh doi sudah sering. Ditolak apalagi. Tapi tahukah Anda rasaya di php oleh HRD ? ‘ Ditunggu ya, dua minggu lagi akan dikabari’, ucap mbak HRD dengan ramah dan tak  lupa senyuman manisnya. Tapi nyatanya dua minggu lebih berlalu tanpa kabar. Medot janji koe, mbak. Sakitnya tuh di sini teman, sambil elus dada. Belum lagi jika hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Nyesek,  jangan gantung harapan kami dong. Kalau kata mas Fathur, sang presbem UGM idola perempuan se-Indonesia Raya, ‘tunda itu bahasa politis, yang ada itu tolak atau terima’, setuju sekali saya dengan penyataan itu dan rasanya pernyataan itu relevan  untuk berbagai aspek di kehidupan ini. Dalam urusan mencari kerja ini misalnya. Setidaknya, jika tidak diterima, ijinkan kami tahu itu. Apalagi sih yang dibutuhkan manusia di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini kalau bukan sekeping kecil kepastian, walaupun itu pahit!

Ditengah penantian yang penuh dengan harapan palsu itu, mulai lah berkicau  suara-suara merdu dari orang sekitar untuk menurunkan standar mimpi, mengatakan bahwa mimpi kita terlalu sulit dikejar, dan lain sebagainya yang intinya adalah ‘sudahlah, lupakan mimpimu, ingat mulutmu butuh makan!’
Orang-orang menyuruh kita untuk berpikiran realistis. Bahwa dalam keadaan yang seperti ini impian dijadikan nomor sekian dulu, yang penting kebutuhan terpenuhi. Tentunya ini akan menjadi dilemma yang sangat bagi para pencari kerja yang mengalaminya. Haruskah mereka menghianati mimpi mereka sendiri, atau tetap bertahan dengan impian awal mereka ? Dalam hati kecil tentunya ada keyakinan bahwa impian itu bisa menjadi nyata namun butuh waktu yang ‘sedikit’ lebih lama dan daya juang yang ‘sedikit’ lebih besar. Namun sekali lagi, kenyataan yang ada melahirkan keragu-raguan yang tak terhindarkan.

Dari jaman dahulu hingga kini, konsep idealis dan realis selalu berbenturan dan menjadi kebimbangan tersendiri bagi umat manusia segala jaman. Jika kita menilik mundur, para filsuf Yunani sudah memikirkan tentang hal ini ribuan tahun yang lalu. Sebut saja, Plato, filsuf kondang yang merupakan tokoh dari filsafat idealisme. Plato mengakui bahwa dunia inderawi yang serba majemuk dan puspa ragam adalah juga suatu realitas, namun bukanlah suatu realitas yang sebenarnya. Dunia inderawi hanyalah tiruan sementara dari dunia ide. Cita-cita sendiri, menurut KBBI ialah merupakan keinginan yang selalu ada di dalam pikiran. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa cita-cita masuk di dalam ranah ide atau gagasan yang dipegang hasil dari olah pikir manusia. Sehingga apabila kita cenderung memilih untuk mempertahankan ide tentang cita-cita tersebut, maka bisa dikatakan bahwa kita adalah orang yang idealis dalam menggapai cita-cita.

Sebaliknya, realisme didasarkan pada prinsip bahwa ide-ide bisa ada tanpa masalah, tapi tidak bisa eksis tanpa bentuk. Ini adalah konsep pemikiran yang dikembangkan oleh Aristoteles. Pandangan Aristoteles lebih realis dari pada Plato karna didasarkan pada hal yang konkret. Ini merupakan akibat didikan pada waktu kecil, yang senantiasa menghadapkannya pada kenyataan. Dari kacamata realisme, menggapai cita-cita adalah lebih dari sekedar menggenggam ide dan impian, melainkan penyesuaian terhadap kondisi konkret yang ada di depan mata.  

Pilihannya ada di tangan kita. Mau mengikuti Plato dengan idealismenya, atau Aristoteles dengan realismenya. Mungkin bisa lebih baik jika kita bisa mengkolaborasikan keduanya dalam menggapai impian dan cita-cita. Kita buat suatu tujuan akhir yang kita pegang dengan sungguh-sungguh (di sini kita menjadi sosok idealis) dan jalan yang kita ambil untuk menuju tujuan akhir itu, bisa menyesuaikan keadaan (menjadi realistis). Mudahnya, saat menemui tembok, bukan tujuan akhirnya yang diubah, tapi jalan kita lah yang mestinya di ubah. Sedikit berbelok atau memutar, memang akan sedikit memakan waktu tetapi tetap menuju tujuan akhir tersebut, dengan meyakini sepenuh hati bahwa akan ‘banyak jalan menuju Roma’.         

Realita kadang begitu pahit dan berliku. Tapi janganlah pernah kita berhenti berusaha. Mau idealis atau realis, itu terserah, asalkan kita yakin dan tidak terpengaruh omongan dari orang-orang sekitar yang belum tentu benar dan belum tentu bertujuan baik. Di jaman sekarang ini banyak serigala berbulu domba, jadi alangkah baiknya jika kita waspada dan menyaring segala omongan dari orang lain.

Karena sesungguhnya cita-cita adalah dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Jangan biarkan orang lain mengintervensi cita-cita dan impian kita. Apalah arti kemerdekaan jika kita masih dijajah nyinyiran orang ? Tetap semangat wahai pejuang impian. Lakukan yang terbaik, dan jangan menyerah. Terakhir, ada satu kutipan favorit saya dari dari Paulo Coelho : ‘When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it’. Ketika kau menginginkan sesuatu, maka semesta akan bersatu untuk membantumu mendapatkannya. Bagaimanapun, impian dan cita-cita memilki harga yang harus dibayar. Idealis atau realis, punya harganya masing-masing. Tentukan cita-cita, pilih harganya, dan bayar mulai sekarang. Selamat berjuang!