Kamis, 21 November 2019

Dari Plato Hingga Aritoteles, Yang Mana Jalan Ninja untuk Cita-Citamu ?





Setia dengan impian awal, atau  merevisi mimpi karena keadaan ? 

Setiap orang rasanya memiliki idealismenya masing-masing, khususnya tekait dengan cita-cita. Misal, seseorang yang menyukai ilmu fisika memiliki cita-cita untuk menjadi seorang engineer. Segala usaha sudah dilakukan. Belajar giat di bangku kuliah demi memperoleh ilmu dan nilai yang sempurna. Namun, kehidupan selalu punya kejutan dan rasanya tidak ada jalan yang benar-benar lurus di dunia ini, kecuali jalan tol, karenanya ada agama yang mengajarkan pada pemeluknya agar senantiasa memohon kepada Tuhannya agar ditunjukkan jalan yang lurus. Kini saya benar-benar paham apa makna doa itu.

Baiklah kembali pada sosok yang diceritakan sebelumnya. Dia lulus tepat waktu dengan nilai yang baik. Gelar sarjana diperoleh, semangat penuh untuk melangkahkan kaki di dunia baru : dunia kerja. Setelah ia melamar kesana kemari, nyatanya ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan impiannya. Ia masih getol untuk mencoba dan berusaha lagi, lagi, dan sekali lagi. Bermodalkan uang terakhirnya ia tebarkan lamaran di tempat yang ia kehendaki. Namun apa daya, panggilan tak kunjung tiba, kabar baik tak kunjung hadir. Penantian kosong. Seperti menunggu mantan datang kembali, ups. 

Dalam kondisi yang galau se-galau-galaunya itu, orang-orang di sekitar banyak yang berkomentar, ‘ya sudahlaa, gak jadi engineer juga gapapa, yang penting bisa hidup’. Apakah memang harus demikian ? Apakah sesulit ini mewujudkan mimpi di jaman sekarang ? Bahkan seperti tak ada tempat untuk impian ? Haruskah menyerah dengan keadaan ? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan terus mengusik hati, jiwa dan pikiran.

Ini menyakitkan. Lebih sakit daripada falling in love with people we can’t have. Lebih ambyar dari Sewu Kuto-nya Kang Didi Kempot. Diberi harapan palsu oleh doi sudah sering. Ditolak apalagi. Tapi tahukah Anda rasaya di php oleh HRD ? ‘ Ditunggu ya, dua minggu lagi akan dikabari’, ucap mbak HRD dengan ramah dan tak  lupa senyuman manisnya. Tapi nyatanya dua minggu lebih berlalu tanpa kabar. Medot janji koe, mbak. Sakitnya tuh di sini teman, sambil elus dada. Belum lagi jika hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Nyesek,  jangan gantung harapan kami dong. Kalau kata mas Fathur, sang presbem UGM idola perempuan se-Indonesia Raya, ‘tunda itu bahasa politis, yang ada itu tolak atau terima’, setuju sekali saya dengan penyataan itu dan rasanya pernyataan itu relevan  untuk berbagai aspek di kehidupan ini. Dalam urusan mencari kerja ini misalnya. Setidaknya, jika tidak diterima, ijinkan kami tahu itu. Apalagi sih yang dibutuhkan manusia di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini kalau bukan sekeping kecil kepastian, walaupun itu pahit!

Ditengah penantian yang penuh dengan harapan palsu itu, mulai lah berkicau  suara-suara merdu dari orang sekitar untuk menurunkan standar mimpi, mengatakan bahwa mimpi kita terlalu sulit dikejar, dan lain sebagainya yang intinya adalah ‘sudahlah, lupakan mimpimu, ingat mulutmu butuh makan!’
Orang-orang menyuruh kita untuk berpikiran realistis. Bahwa dalam keadaan yang seperti ini impian dijadikan nomor sekian dulu, yang penting kebutuhan terpenuhi. Tentunya ini akan menjadi dilemma yang sangat bagi para pencari kerja yang mengalaminya. Haruskah mereka menghianati mimpi mereka sendiri, atau tetap bertahan dengan impian awal mereka ? Dalam hati kecil tentunya ada keyakinan bahwa impian itu bisa menjadi nyata namun butuh waktu yang ‘sedikit’ lebih lama dan daya juang yang ‘sedikit’ lebih besar. Namun sekali lagi, kenyataan yang ada melahirkan keragu-raguan yang tak terhindarkan.

Dari jaman dahulu hingga kini, konsep idealis dan realis selalu berbenturan dan menjadi kebimbangan tersendiri bagi umat manusia segala jaman. Jika kita menilik mundur, para filsuf Yunani sudah memikirkan tentang hal ini ribuan tahun yang lalu. Sebut saja, Plato, filsuf kondang yang merupakan tokoh dari filsafat idealisme. Plato mengakui bahwa dunia inderawi yang serba majemuk dan puspa ragam adalah juga suatu realitas, namun bukanlah suatu realitas yang sebenarnya. Dunia inderawi hanyalah tiruan sementara dari dunia ide. Cita-cita sendiri, menurut KBBI ialah merupakan keinginan yang selalu ada di dalam pikiran. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa cita-cita masuk di dalam ranah ide atau gagasan yang dipegang hasil dari olah pikir manusia. Sehingga apabila kita cenderung memilih untuk mempertahankan ide tentang cita-cita tersebut, maka bisa dikatakan bahwa kita adalah orang yang idealis dalam menggapai cita-cita.

Sebaliknya, realisme didasarkan pada prinsip bahwa ide-ide bisa ada tanpa masalah, tapi tidak bisa eksis tanpa bentuk. Ini adalah konsep pemikiran yang dikembangkan oleh Aristoteles. Pandangan Aristoteles lebih realis dari pada Plato karna didasarkan pada hal yang konkret. Ini merupakan akibat didikan pada waktu kecil, yang senantiasa menghadapkannya pada kenyataan. Dari kacamata realisme, menggapai cita-cita adalah lebih dari sekedar menggenggam ide dan impian, melainkan penyesuaian terhadap kondisi konkret yang ada di depan mata.  

Pilihannya ada di tangan kita. Mau mengikuti Plato dengan idealismenya, atau Aristoteles dengan realismenya. Mungkin bisa lebih baik jika kita bisa mengkolaborasikan keduanya dalam menggapai impian dan cita-cita. Kita buat suatu tujuan akhir yang kita pegang dengan sungguh-sungguh (di sini kita menjadi sosok idealis) dan jalan yang kita ambil untuk menuju tujuan akhir itu, bisa menyesuaikan keadaan (menjadi realistis). Mudahnya, saat menemui tembok, bukan tujuan akhirnya yang diubah, tapi jalan kita lah yang mestinya di ubah. Sedikit berbelok atau memutar, memang akan sedikit memakan waktu tetapi tetap menuju tujuan akhir tersebut, dengan meyakini sepenuh hati bahwa akan ‘banyak jalan menuju Roma’.         

Realita kadang begitu pahit dan berliku. Tapi janganlah pernah kita berhenti berusaha. Mau idealis atau realis, itu terserah, asalkan kita yakin dan tidak terpengaruh omongan dari orang-orang sekitar yang belum tentu benar dan belum tentu bertujuan baik. Di jaman sekarang ini banyak serigala berbulu domba, jadi alangkah baiknya jika kita waspada dan menyaring segala omongan dari orang lain.

Karena sesungguhnya cita-cita adalah dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Jangan biarkan orang lain mengintervensi cita-cita dan impian kita. Apalah arti kemerdekaan jika kita masih dijajah nyinyiran orang ? Tetap semangat wahai pejuang impian. Lakukan yang terbaik, dan jangan menyerah. Terakhir, ada satu kutipan favorit saya dari dari Paulo Coelho : ‘When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it’. Ketika kau menginginkan sesuatu, maka semesta akan bersatu untuk membantumu mendapatkannya. Bagaimanapun, impian dan cita-cita memilki harga yang harus dibayar. Idealis atau realis, punya harganya masing-masing. Tentukan cita-cita, pilih harganya, dan bayar mulai sekarang. Selamat berjuang!


Selasa, 19 November 2019

Gelang Hitam (CERPEN)




Empat bulan sudah berlalu semenjak kepergian.
Empat bulan mengenal telah teramat cukup untuk menumbuhkan rasa yang tak pernah terbayang
Pun empat bulan tak pernah cukup untuk benar-benar menghapus tentang seseorang
Pernah aku begitu mengutuk diriku sendiri karena telah jatuh kepada seseorang itu. Namun apa daya, ketika panah nirwujud itu telah dilesatkan, hati mana yang tak akan jatuh ?

Malam ini aku kembali menangis. Melihat pergelangan tangan kananku yang kini kosong, mengenang gelang hitam yang dulu pernah melingkar di sana. Aku membeli gelang hitam itu di saat sedang bahagia-bahagianya. Menjadi perempuan bebas dan mandiri di tanah perantauan. Melangkahkan kaki sesuka hati seiring berhembusnya angin.
---

Pada sebuah malam di kota yang dingin, langit begitu gelap nan cantik. Kupejamkan mata dan rasakan bingar alun-alun di telingaku, merasakan belai angin dingin di telapak tanganku. Lalu kubuka mata, dan semenjak itu aku berkesimpulan bahwa harus ada perayaan untuk setiap hal kecil yang diberikan semesta. Bahkan bingar ini, dingin ini, dan gelapnya malam ini memberikan damai yang khusus di benakku. Maka daripada itu, sudah sepantasnya tak ada tempat bagi kesedihan dan rasa khawatir akan kehidupan, karena sesungguhnya semesta tak akan pernah berhenti menghadirkan yang terbaik. Sudah saatnya kesedihan dicukupkan dan langkah kaki di lebarkan, serta bibir yang senantiasa tak lupa merapalkan syukur yang tulus kepada Tuhan pencipta semesta.

Kulihat gelang hitam itu di jajaran dagangan penjual aksesoris. Macam ragam warna aksesoris di sajikan, namun justru aku tertarik pada satu yang berwarna hitam. Hitam. Gelap. Seperti langit malam itu. Begitu pekat namun entah bagaimana mampu menghadirkan damai yang sangat. Gelap tak buruk juga ya rasanya, pikirku. Bukankah di langit yang gelap bintang-bintang akan terlihat lebih jelas bersinar ? Mari rayakan cantiknya langit malam ini. Kuabadikan gelapnya langit malam itu pada gelang hitam yang bertengger tanpa peminat di meja itu. Seketika gelang hitam itu sudah berada di pergelangan tanganku.

Jangan lihat hitamnya, jangan lihat gelapnya. Lihatlah apa yang bersinar di dalam gelap itu.

Hal itulah yang senantiasa merebak tiap kali kulihat gelang hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. Ketika dilanda situasi yang buruk, kutatap lagi gelang itu, ada damai yang menjalar dingin seindah langit malam kala itu. Aku suka gelang itu. Meski terlalu besar untuk pergelangan tanganku yang mungil, tapi tetap terasa pas dan begitu nyaman melingkar di tanganku. Aku tak pernah merasa sendiri. Karena aku tau gelang hitam itu menggengam tanganku, Selalu ada, Tak terbatas ruang dan waktu. Aku merasa utuh.

---
Hingga sampai pada suatu saat aku mengenal seseorang itu. Ia rekan kerjaku. Begitu lugas ia menghadapi hidup. Di tengah dunia yang berjalan dengan tempo semakin cepat nan penuh tekanan, ia selalu bisa tetap kalem dan tak terpengaruh dengan keterburu-buruan itu. Yang paling kuingat ialah kata-katanya ‘untuk apa cepat-cepat, toh di ujung sana tiada yang menanti. Pun di sini tak ada yang memburumu untuk pergi. Nikmati!’

Tawa tak lupa senantiasa ia sematkan di tengah pekerjaan yang sedang banyak-banyaknya. Hingga aku sadar bahwa selama ini aku lupa tertawa. Hidup yang tak mulus, impian yang terasa sulit dijadikan nyata, serta tuntutan-tuntutan di kehidupan modern ini membuatku lupa tertawa. Tawa. Kapan terakhir kali aku tertawa seperti ini ? Ini hal akrab yang kini menjadi asing bagiku. Dan kini aku meraskannya kembali, olehmu. Kutemukan bahwa tawa ialah serupa pressure release valve, yakni katup pengurang tekanan pada bejana bertekanan yang fungsinya ialah sebagai pengaman agar bejana itu tak kelebihan tekanan, karna tekanan yang berlebih itu mampu membuatnya meledak. Seperti diriku dengan tekanan yang berlebih, membutuhkan pressure release valve-nya. Aku membutuhkan seseorang itu.

Hari demi hari berlalu. Tak ada hari yang kulewatkan tanpa melihat seseorang itu, kecuali hari minggu tentunya. Di kota dingin itu, aku menemukan seseorang itu dan menemukan kembali tawaku. Maka nikmat Tuhan manalagi yang dapat aku dustakan ? Ya, tidak ada. Semua terasa begitu lengkap. Lalu yang terjadi setelah itu, ialah rindu. Temu-temu itu mencumbu waktu dan melahirkan anak-anak rindu yang berisik di benakku. Lalu biar kutuliskan kembali : ‘ketika panah nirwujud itu telah dilesatkan, hati mana yang tak akan jatuh ?’

Entah kesialan atau anugerah. Aku jatuh kepada seseorang itu. Canda nya seperti candu yang tak pernah bisa berhenti kuseduh. Aku menyayangimu. Kalimat itu mulai berputar di hati dan kepalaku semenjak fajar merekah hingga sebelum mataku terlelap. Seseorang itu mengisi mimpi-mimpi malamku. Sial. Aku tak ingin ini. Karna aku tahu, setelah ini, yang akan terjadi selanjutnya hanyalah ego untuk memilikimu lengkap dengan sepaket ketakutan-ketakutan akan kehilanganmu. Padahal aku percaya pada kalimat penyair itu, ‘pada dasarnya, kita tak pernah sungguh-sungguh memiliki sesuatu, kita hanya memiliki kehilangan’. Namun, ketakutan-ketakutan itu nyatanya sulit sekali terhindarkan.
---

Waktu berlalu, pekerjaan kian rampung yang berarti waktuku di sini semakin menuju babak terakhirnya. Pekerjaan lancar, semua berjalan sesuai rencana, hanya masalah-masalah kecil yang pada akhirnya mampu untuk diselesaikan. Berbeda halnya urusanku dengan seseorang itu yang kian hari kian tak rampung. Rindu dan rasa yang kian berisik. Tawa dan kebersamaan serta bahagia yang tak siap ku tanggalkan. Aku dan seseorang itu sama-sama merasakan bahwa kebersamaan ini tak akan berlangsung lebih lama lagi. Aroma perpisahan sudah mulai merebak. Hingga di suatu sore kala itu, seseorang itu berkata :

‘Proyek ini sudah selesai. Sebentar lagi kita sudah tidak akan bertemu. Hey, omong-omong gelang itu apakah dari pacarmu ?’
‘Gelang hitam ini maksudmu ? Hah, pacar apaan ? Apa itu pacar ?’, jawabku sembari bercanda.
‘Kemarikan saja, biar kupakai. Aku suka memakai aksesoris seperti itu. Sebagai kenang-kenangan, setelah ini mungkin kita sudah tidak akan bertemu. Maukah kau berikan untukku ?’

Aku terkesiap. Benar apa yang ia katakan. Kebersamaan ini sebentar lagi akan berakhir. Berbagai hal muncul di pikiranku, gelang hitam ? Asosiasinya dengan langit malam yang menjadi sumber damaiku. Ini teramat berharga, haruskah kuberikan padanya ? Lalu tentang rasa ini, bagaimana caraku menyampaikan ? Tuhan, aku masih ingin bersamanya’.

‘Tapi gelang ini sulit dilepas,’ ungkapku.

Aku berpikir sejenak. ‘Gelang hitamku ini begitu berharga bagiku, tapi bukankah sudah sepantasnya bila seseorang memberikan sesuatu yang berharga kepada sosok yang berarti di kehidupannya ? Apalagi sosok yang telah mengembalikan tawanya. Dan satu hal lagi, kalaupun kami berpisah, setidaknya ia akan membawa gelang hitam itu bersamanya, membawa sebagian dari diriku. Bukan hal yang buruk, bukan ? Akan ada bagian dariku yang turut bersamanya’. Ya, aku mengalahkan egoku dan  memutuskan untuk memberikan gelang hitam itu kepadanya.

‘Maukah kau membantuku melepas gelang hitam ini ?’, kataku.
‘Sini’.

Kedua tangannya berada di atas pergelangan tanganku. Jemarinya bergerak lincah melepaskan tautan gelang hitam itu. Sunyi. Tiada suara. Mungkin masing-masing dari kami tengah tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Waktu berjalan lambat. Tanganku berada diantara kedua tangannya, dan kurasakan hangat tangannya menjelma damai dan letup bahagia di benakku. Oh Tuhan, tidak bisakah begini saja selamanya ? Tak usah ada perpisahan, ingin rasanya kuhentikan waktu dan kujadikan momen ini abadi untuk selamanya. Aku ingin tau apa yang ada di pikirannya. Dalam pikiranku, inilah momen terindah yang akan selalu kukenang. Diamku karena ingin merekam keseluruhan momen ini, suasana ini, kedamaian ini, kebersamaan ini : satu momen ketika kuberikan sesuatu yang berharga untuk sosok yang berarti di hidupku. Sedamai ini kurasakan ikhlas merebak di benakku. Melepas sesuatu yang berharga teruntuk sosok yang berarti bagiku. Kembali kehidupan mengajarkanku tentang ikhlas.

Gelang hitam itu terlepas.

Tanpa kata, kulihat ia memakainya di pergelangan tangannya. Ya, gelang hitam berhargaku kini melingkar indah di pergelangan tangannya. Ada bahagia yang diam-diam mengalir dalam diriku. Meski akan berpisah, ada bagian dariku yang ikut bersamanya.

‘Aku sayang gelang hitam itu, jaga baik-baik ya’, pintaku.

‘Pasti’, jawabnya.

Kemudian aku berlalu menuju kamar mandi dan di sana aku pun menangis. Entah apa alasanku menangis. Semua ini terasa begitu mengharukan, ini dia ujung kebersamaan kami. Ini lah perpisahan kami. Waktu terasa begitu singkat dan begitu banyak yang ingin kusampaikan namun tak sempat.
---

Beberapa malam setelah kejadian itu, di hari terakhir aku berada di kota dingin itu, kembali aku harus membuat keputusan. Biarkan Ia tau segalanya sekarang, atau tidak sama sekali. Aku memilih pilihan pertama. Kusampaikan pada seseorang itu melalui obrolan WhatsApp, bahwa aku menyayanginya tanpa peduli apapun kondisinya. Aku sampaikan bahwa ada sedih yang merebak di ujung pertemuan ini. Kusampaikan pula kata maaf dan terima kasih atas waktu yang telah dilalui bersama-sama. Aku menyayanginya, dan akan senantiasa merindukannya. Dan begini balasan pesan darinya :

‘Sama-sama. Mungkin aku yang banyak salah sama kamu’
‘Siapa tahu kita ketemu lagi lain waktu’
‘Apaaaa ?’
‘Jodoh gak akan kemana kok (disertai emoticon senyuman manis)’.
‘Iya kalem. Kamu juga jangan sungkan kalau mau chat aku’

Hanya itu.  

Ia melepas kepergianku.

Tak ada kata darinya untukku agar singgah sejenak, untuk menghabiskan saat terakhir bersama-sama. Tidak ada. Tidak ada momen terakhir romantis seperti yang di film-film romansa. Hanya seperti itu. Ia dengan segala ke-kalem-annya, yang seperti biasa, merespon kerisauanku tentang perpisahan ini.  Aku tak pernah mengerti arti dari jawabannya tersebut. Apakah Ia juga memiliki rasa yang sama, atau kah tidak. Dan aku tidak mau bertanya. Cukuplah menjadi misteri, dan cukuplah hal-hal indah sebelum itu menjadi sesuatu yang dapat kukenang tentang masa ini di sebuah kota yang dingin.
---

Pergelangan tanganku kini kosong. Kan, benar kata penyair itu, ‘pada dasarnya, kita tak pernah sungguh-sungguh memiliki sesuatu, kita hanya memiliki kehilangan’. Lagi-lagi kehidupan mengajarkan ikhlas dengan caranya yang tak terlupakan. Sudah tidak ada lagi gelang hitam, sudah tidak ada lagi yang menggenggamku. Tapi justru kekosongan ini membawaku kembali pada gelap. Langit malam. Jangan lihat hitamnya, jangan lihat gelapnya. Lihatlah apa yang bersinar di dalam gelap itu.

Jangan lihat nestapanya, lihat pelajarannya yang dapat dipetik.

Takdir telah membuatku bertemu dengan seseorang yang berarti, takdir pula yang membuatku harus berpisah dengan seseorang itu. Lalu atas nama takdir pula, kini aku melepasnya dengan ikhlas. Selanjutnya, biar kuserahkan lagi kepada takdir untuk membawanya kembali jika berkenan.

Kalaupun tidak, juga tak mengapa, karena aku yakin sesungguhnya semesta tak akan pernah berhenti menghadirkan yang terbaik.

Dan kepada seseorang itu, kusampaikan kepadamu dari damai benakku, selepas apapun yang terjadi, aku menyayangimu…   

(--the end--)
19-11-19