Setia dengan impian
awal, atau merevisi mimpi karena keadaan
?
Setiap orang rasanya memiliki idealismenya masing-masing, khususnya tekait
dengan cita-cita. Misal, seseorang yang menyukai ilmu fisika memiliki cita-cita
untuk menjadi seorang engineer.
Segala usaha sudah dilakukan. Belajar giat di bangku kuliah demi memperoleh
ilmu dan nilai yang sempurna. Namun, kehidupan selalu punya kejutan dan rasanya
tidak ada jalan yang benar-benar lurus di dunia ini, kecuali jalan tol,
karenanya ada agama yang mengajarkan pada pemeluknya agar senantiasa memohon
kepada Tuhannya agar ditunjukkan jalan yang lurus. Kini saya benar-benar paham
apa makna doa itu.
Baiklah kembali pada
sosok yang diceritakan sebelumnya. Dia lulus tepat waktu dengan nilai yang
baik. Gelar sarjana diperoleh, semangat penuh untuk melangkahkan kaki di dunia
baru : dunia kerja. Setelah ia melamar kesana kemari, nyatanya ia tak kunjung
mendapatkan pekerjaan impiannya. Ia masih getol untuk mencoba dan berusaha
lagi, lagi, dan sekali lagi. Bermodalkan uang terakhirnya ia tebarkan lamaran
di tempat yang ia kehendaki. Namun apa daya, panggilan tak kunjung tiba, kabar
baik tak kunjung hadir. Penantian kosong. Seperti menunggu mantan datang
kembali, ups.
Dalam kondisi yang
galau se-galau-galaunya itu, orang-orang di sekitar banyak yang berkomentar,
‘ya sudahlaa, gak jadi engineer juga gapapa, yang penting bisa hidup’. Apakah memang harus demikian ?
Apakah sesulit ini mewujudkan mimpi di jaman sekarang ? Bahkan seperti tak ada
tempat untuk impian ? Haruskah menyerah dengan keadaan ? Pertanyaan-pertanyaan
itu muncul dan terus mengusik hati, jiwa dan pikiran.
Ini menyakitkan. Lebih
sakit daripada falling in love with
people we can’t have. Lebih ambyar dari Sewu
Kuto-nya Kang Didi Kempot. Diberi harapan palsu oleh doi sudah sering. Ditolak
apalagi. Tapi tahukah Anda rasaya di php oleh HRD ? ‘ Ditunggu ya, dua minggu
lagi akan dikabari’, ucap mbak HRD dengan ramah dan tak lupa senyuman manisnya. Tapi nyatanya dua
minggu lebih berlalu tanpa kabar. Medot
janji koe, mbak. Sakitnya tuh
di sini teman, sambil elus dada. Belum lagi jika hal seperti itu terjadi
berulang-ulang. Nyesek, jangan gantung
harapan kami dong. Kalau kata mas
Fathur, sang presbem UGM idola perempuan se-Indonesia Raya, ‘tunda itu bahasa
politis, yang ada itu tolak atau terima’, setuju sekali saya dengan penyataan
itu dan rasanya pernyataan itu relevan
untuk berbagai aspek di kehidupan ini. Dalam urusan mencari kerja ini
misalnya. Setidaknya, jika tidak diterima, ijinkan kami tahu itu. Apalagi sih
yang dibutuhkan manusia di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini kalau bukan
sekeping kecil kepastian, walaupun itu pahit!
Ditengah penantian yang
penuh dengan harapan palsu itu, mulai lah berkicau suara-suara merdu dari orang sekitar untuk
menurunkan standar mimpi, mengatakan bahwa mimpi kita terlalu sulit dikejar,
dan lain sebagainya yang intinya adalah ‘sudahlah, lupakan mimpimu, ingat
mulutmu butuh makan!’
Orang-orang menyuruh
kita untuk berpikiran realistis. Bahwa dalam keadaan yang seperti ini impian
dijadikan nomor sekian dulu, yang penting kebutuhan terpenuhi. Tentunya ini
akan menjadi dilemma yang sangat bagi para pencari kerja yang mengalaminya.
Haruskah mereka menghianati mimpi mereka sendiri, atau tetap bertahan dengan
impian awal mereka ? Dalam hati kecil tentunya ada keyakinan bahwa impian itu
bisa menjadi nyata namun butuh waktu yang ‘sedikit’ lebih lama dan daya juang
yang ‘sedikit’ lebih besar. Namun sekali lagi, kenyataan yang ada melahirkan
keragu-raguan yang tak terhindarkan.
Dari jaman dahulu
hingga kini, konsep idealis dan realis selalu berbenturan dan menjadi
kebimbangan tersendiri bagi umat manusia segala jaman. Jika kita menilik
mundur, para filsuf Yunani sudah memikirkan tentang hal ini ribuan tahun yang
lalu. Sebut saja, Plato, filsuf kondang yang merupakan tokoh dari filsafat idealisme.
Plato mengakui bahwa dunia inderawi
yang serba majemuk dan puspa ragam adalah juga suatu realitas, namun bukanlah
suatu realitas yang sebenarnya. Dunia inderawi hanyalah tiruan sementara dari
dunia ide. Cita-cita sendiri, menurut KBBI ialah merupakan keinginan yang
selalu ada di dalam pikiran. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa cita-cita masuk
di dalam ranah ide atau gagasan yang dipegang hasil dari olah pikir manusia.
Sehingga apabila kita cenderung memilih untuk mempertahankan ide tentang
cita-cita tersebut, maka bisa dikatakan bahwa kita adalah orang yang idealis
dalam menggapai cita-cita.
Sebaliknya, realisme didasarkan pada prinsip bahwa ide-ide bisa ada tanpa
masalah, tapi tidak bisa eksis tanpa bentuk. Ini adalah konsep pemikiran yang
dikembangkan oleh Aristoteles. Pandangan Aristoteles lebih realis dari pada
Plato karna didasarkan pada hal yang konkret. Ini merupakan akibat didikan pada
waktu kecil, yang senantiasa menghadapkannya pada kenyataan. Dari kacamata
realisme, menggapai cita-cita adalah lebih dari sekedar menggenggam ide dan
impian, melainkan penyesuaian terhadap kondisi konkret yang ada di depan mata.
Pilihannya
ada di tangan kita. Mau mengikuti Plato dengan idealismenya, atau Aristoteles
dengan realismenya. Mungkin bisa lebih baik jika kita bisa mengkolaborasikan
keduanya dalam menggapai impian dan cita-cita. Kita buat suatu tujuan akhir
yang kita pegang dengan sungguh-sungguh (di sini kita menjadi sosok idealis)
dan jalan yang kita ambil untuk menuju tujuan akhir itu, bisa menyesuaikan
keadaan (menjadi realistis). Mudahnya, saat menemui tembok, bukan tujuan
akhirnya yang diubah, tapi jalan kita lah yang mestinya di ubah. Sedikit
berbelok atau memutar, memang akan sedikit memakan waktu tetapi tetap menuju
tujuan akhir tersebut, dengan meyakini sepenuh hati bahwa akan ‘banyak jalan
menuju Roma’.
Realita kadang begitu
pahit dan berliku. Tapi janganlah pernah kita berhenti berusaha. Mau idealis
atau realis, itu terserah, asalkan kita yakin dan tidak terpengaruh omongan
dari orang-orang sekitar yang belum tentu benar dan belum tentu bertujuan baik.
Di jaman sekarang ini banyak serigala berbulu domba, jadi alangkah baiknya jika
kita waspada dan menyaring segala omongan dari orang lain.
Karena sesungguhnya cita-cita
adalah dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Jangan biarkan orang lain
mengintervensi cita-cita dan impian kita. Apalah arti kemerdekaan jika kita
masih dijajah nyinyiran orang ? Tetap
semangat wahai pejuang impian. Lakukan yang terbaik, dan jangan menyerah.
Terakhir, ada satu kutipan favorit saya dari dari Paulo Coelho : ‘When you want
something, all the universe conspires in helping you to achieve it’. Ketika kau
menginginkan sesuatu, maka semesta akan bersatu untuk membantumu mendapatkannya.
Bagaimanapun, impian dan cita-cita memilki harga yang harus dibayar. Idealis
atau realis, punya harganya masing-masing. Tentukan cita-cita, pilih harganya,
dan bayar mulai sekarang. Selamat berjuang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar