Di malam yang penuh suka cita menyambut hari libur, di saat
para sejoli saling berbagi tawa dan cinta, Ia tak pernah mengenal hari libur.
Mungkin baginya hari libur adalah sama dengan tak makan. Tak seberapa bila
hanya satu mulut yang tak makan, bagaimana bila ternyata ada beberapa mulut
yang bergantung pada “hari libur”-nya ?
Tapi ia tabah. Masih terus berjalan. Ada yang menjajakan
dagangan berupa roti yang dibuat dengan tangannya sendiri dan dipasarkan di
atas sepeda ontel yang dikayuh di bawah langit malam, diantara gelak tawa
manusia yang lebih beruntung darinya, manusia yang dianugerahi kesempatan untuk
menikmati hari libur dan tawa sebagai pengisinya. Di sudut yang lain, aku
melihat ia yang lain. Ia yang rela mengenakan kostum boneka tebal dan berperang
dengan cuaca panas yang mendekap.
Tapi ia tabah. Menari diiringi musik riang dari radio butut
yang selalu ia bawa untuk mencari nafkah. Menjual kegembiraan yang entah darimana
ia palsukan. Di luar segala perjuangannya, diantara deras peluh di tubuhnya, ia
tetap menari. Menghadirkan kegembiraan yang diharapkan mampu menghibur siapapun
yang melihatnya hingga pada akhirnya para pemirsa itu mau memberikan beberapa
koin atau jika beruntung beberapa lembaran uang di kalengnya.
Tapi yang kulihat adalah hal yang berbeda. Di mataku, sebenanrnya
bukan orang-orang itu yang butuh dihibur. Tapi dirinya sendirilah yang perlu
dihibur dari lara dan lelah yang telah dibebankan oleh kehidupan. Betapa hal
itu adalah pekerjaan yang paling sulit. Di keadaan yang mengharuskan untuk
tetap riang menari walau sebenarnya untuk tersenyum pun diri sudah tak mampu
lagi. Seringkali kulihat kala ia melepas topeng boneka itu, peluh membasahi
wajah. Kelegaan terpancar manakala topeng itu sudah dilepas. Ia mampu menghirup
lagi udara segar, ya yang tak benar-benar segar sebenarnya karna telah
tercampur asap kendaraan. Namun baginya itu adalah udara segarnya.
Sejenak berhenti menari, duduk melabuhkan lelah di tempat
yang beralaskan tanah. Tanah yang daripadanya ia diciptakan. Barangkali ia
berpikir kenapa ia dilahirkan, kenapa Tuhan mengharuskannya meninggalkan alam
ruh dan mengembara bersama raga di tengah dunia yang serba sulit ini. Belum
lagi tentang menahan dirinya dari godaan untuk melakukan hal-hal yang tidak
baik demi mengisi perutnya. Menahan dirinya agar tak mencuri. Menahan dirinya agar tak
melakukan hal yang jahat. Lebih hebatnya ialah Ia menahan dirinya agar tidak
mengutuk takdir. Dengan kata lain Ia menahan dirinya agar tidak mendustakan
rahmat Tuhan yang ia percaya lebih luas dari apapun.
Setan berbisik, “di manakah rahmat Tuhan yang kau percaya
sedangakan perutmu dibiarkan kosong oleh-Nya ?”. Sebagai manusia biasa Ia sempat ragu, ia
sempat gentar. Namun berkali-kali Tuhan dengan rahmat-Nya yang luas hadir dan memberi
petunjuk padanya. Ia selalu teringat, bahkan Maryam pun, yang tengah lemah
sehabis melahirkan Nabi Isa, yang atas Takdir Tuhan telah dikandungkan di
rahimnya yang suci, tetap diharuskan menggoyang batang pohon kurma sebelum ia
mendapatkan kurma untuk mengisi perutnya yang kosong.
Ia sadar, ia bukan maryam yang suci. Ia penuh dosa. Jika yang
seperti Maryam saja masih diwajibkan untuk berjuang dan berusaha, apalagi
dirinya. Dan bukankah seorang hamba yang mengaku beriman tidak dibiarkan begitu
saja tanpa diberikan ujian untuk mebuktikan keimanannya ? Dan Tuhan sendiri
telah berjanji bahwa Ia tak akan membebani hamba-Nya melebihi batas
kemampuannya.
Hatinya mantap. Ia teguh. Setan pun jengkel dan pergi
meninggalkannya. Ia tersenyum, melihat keatas langit dan bergumam, “terima kasih
Tuhan atas rejekimu malam ini. Atas rahmat-Mu yang menjaga ku untuk tetap berada
di jalan-Mu. Atas rahmat-Mu yang menjagaku untuk tetap mampu mencintai-Mu
ditengah kekuranganku. Dan dengan rahmat-Mu, ku memohon kuatkanlah ragaku,
sehatkanlah aku dan keluargaku, besarkanlah hatiku untuk menerima segala yang
Engkau takdirkan maupun yang tidak”. Kulihat wajahnya begitu damai. Senyum
penuh syukur. Diantara bingar ia telah memilih menepi. Dan dalam istirahatnya
yang sejenak itu, ia menemukan Tuhan.
Seusai menenggak air mineral dari botol usang yang ia bawa
bersama radio butut itu, ia kembali mengenakan topengnya. Siap untuk kembali
bekerja. Jiwa nya telah penuh. Ia siap untuk menghibur mereka-mereka yang ia
jumpai setelah ini. Aku salah. Tak ada
yang Ia palsukan. Bukan kegembiraan palsu yang ia jual, melainkan contoh keridhoan
hati manusia akan takdir Tuhannya yang ia bagikan pada sesama manusia. Aku melihat
semua itu dalam dirinya, dan aku menangis. Jika ada orang yang perlu ia “hibur”,
satu-satunya orang itu adalah aku. Betapa diri ini si pemberontak asal-asalan
yang tak tahu malu untuk mengutuk takdir dan menghujat Tuhan. Aku akan membayar
mahal pada apa yang ia jual malam ini. Terima kasih, aku telah membeli sesuatu
yang tak dapat kujumpai di toko manapun. Rahmat Tuhan kini ikut andil
menyelamatkanku untuk kembali kepada-Nya.
Ia pun mengenakan topeng dan menyalakan lagu riang dari radio
butunya itu. Musik gembira telah dikumandangkan dan ia menari bersamanya.
Barangkali ia tidak hanya sekedar menari. Ia beserta keseluruhan jiwa dan
raganya menari bersama nyanyian kehidupan, tak peduli lagi pahit atau manis
yang diberikan dicangkirnya, toh akan sama saja. Maka ia akan terus menari
bersamanya, hingga Tuhan berkata cukup.